FAKTOR-FAKTOR SOSIAL
DALAM PENGGUNAAN PELAYANAN KESEHATAN
A.
Pengertian
Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Penggunaan
pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang
ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik, dan psikologi. Masalah utama dari model struktur sosial dari penggunaan
pelayanan kesehatan adalah bahwa kita tidak mengetahui mengapa variable ini
menyebabkan penggunaan pelayanan kesehatan. Kita ketahui bahwa
individu-individu yang berbeda suku bangsa, pekerjaan, atau tingkat pendidikan
mempunyai kecendrungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap
kesehatan mereka. Dengan kata lain, pendekatan struktur sosial didasarkan pada
asumsi bahwa orang-orang dengan latar belakang struktur sosial didasarkan pada
asumsi bahwa orang-orang dengan latar belakang struktur sosial yang
bertentangan akan menggunakan pelayanan kesehatan dengan cara yang tertentu
pula.
B.
Faktor-Faktor
Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan
1.
Umur
Umur adalah variabel yang selalu
diperhatikan dalam penyelidikan-epidemiologi. Dengan cara ini orang dapat
membacanya dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut
golongan umur. . (Syafruddin dkk, 2009). Untuk keperluan perbandingan maka WHO
menganjurkan pembagian-pembagian umur sebagai berikut (Syafruddin
dkk, 2009):
a. Menurut tingkat kecerdasan
1) 0-14
tahun : Bayi
dan anak-anak
2) 15-59
tahun : Orang muda
dan orang dewasa
3) > 50
tahun : Orang
tua
b. Interval 5 tahun
1) < 1 Tahun
2) 1-4 tahun
3) 5-9 Tahun
4) 10-14 tahun dan sebagainya
Menurut teori perkembangan
psikososial Erikson, dikutip dari Whalley & Wong’s (1999), tahap
perkembangan manusia menurut umur di bagi dalam 8 tahapan. Tiga diantaranya
berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut (Maulana, 2008):
a. < 20 tahun
b. 21-35 tahun
c. > 35 tahun
Penelitian Supardi dkk (2011)
mengatakan bahwa sebagian besar berusia antara 26-35 tahun (28,8%) yang berobat
ke Puskesmas dan proporsi penduduk yang memilih berobat di rumah lebih banyak
pada kelompok umur pra lansia atau lansia.
Jika
dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola penyakit berdasarkan
golongan umur. Misalnya balita lebih banyak menderita penyakit infeksi,
sedangkan golongan usila lebih banyak menderita penyakit kronis seperti
hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker, dan lain-lain.
Orang mengubah barang dan jasa yang
mereka gunakan selama masa hidupnya. Selera akan makanan, pakaian, perabot dan
rekreasi sering kali berhubungan dengan umur. Lembaga pelayanan kesehatan
seringkali menentukan sasaran dalam bentuk tahap daur hidup dan mengembangkan
produk yang sesuai serta rencana pemasaran untuk setiap tahap.
2.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan suatu akibat
dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan
perempuan. (Wikipedia, 2011).
Jenis kelamin dikaitkan pula dengan
aspek gender, karena terjadi diferensiasi peran
sosial yang dilekatkan pada masing-masing jenis kelamin. Pada masyarakat yang
mengenal “machoisme”, umpamanya, seorang laki-laki diharuskan berperan secara maskulin(“jantan” dalam bahasa sehari-hari) dan perempuan berperan secara feminin. (Wikipedia, 2011).
Setiap masyarakat menekankan peran
tertentu yang setiap jenis kelamin harus bermain, meskipun ada lintang luas
dalam perilaku yang dapat diterima untuk setiap gender. (Anonim, 2011).
Karakteristik penduduk yang memilih pengobatan di rumah proporsi terbesar
adalah berjenis kelamin perempuan (Supardi dkk, 2011). Begitu juga dengan
penelitian Supardi dkk (2004) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku pasien berobat ke Puskesmas sebagian besar adalah perempuan (56,4%). Perbedaan
jenis kelamin akan menghasilkan penyakit yang berbeda pula. Misalnya dikalangan
wanita lebih banyak menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak
menderita kanker prostat.
3.
Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan dasar
dalam pengembangan wawasan serta untuk memudahkan bagi seseorang untuk menerima
pengetahuan, sikap dan perilaku yang baru. Tingkat pendidikan formal yang
pernah diperoleh seseorang akan meningkatkan daya nalar seseorang dan jalan
untuk memudahkan seseorang untuk menerima motivasi. (Syaer, 2011).
Tingkat pendidikan seseorang dapat
menentukan peminatan kesehatan, tinggi rendahnya permintaan terhadap pelayanan
kesehatan dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan. Indikatornya
adalah pendidikan terakhir, berpendidikan rendah tetap memanfaatkan pelayanan
kesehatan dan tahu manfaat pelayanan kesehatan. (Syaer, 2010).
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun
2003, yaitu tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa Pendidikan
Nasional terbagi atas tiga tingkat pendidikan formal yaitu pendidikan dasar
(SD/Madrasah Ibtidaiyah serta SMP/Madrasah Tsanawiyah), pendidikan menengah
(SMU/Madrasah Aliyah dan sederajat) serta pendidikan tinggi (Akademi dan
Perguruan tinggi). (Maulana, 2008).
Dari hasil penelitian Supardi dkk
(2011) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien berobat ke
Puskesmas diperoleh karakteristik pasien rawat jalan dan rawat inap di
Puskesmas adalah pendidikan SD (tamat/ tidak tamat SD). Persentase pasien
dengan pendidikan dasar lebih cenderung rawat inap di Puskesmas dibandingkan
dengan yang berpendidikan lanjutan.
4.
Pendapatan/ penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai
hubungan antara tingkat penghasilan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan
maupun pencegahan. (Syafruddin dkk, 2009). Tingkat pendapatan yang memadai akan
memberikan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar untuk datang ke fasilitas
kesehatan, memeriksakan diri, serta mengambil obat. Hal ini dapat dihubungkan
dengan biaya transport yang dimiliki. Jadi dari tingkat pendapatan yang memadai
dapat diharapkan penderita akan berobat secara teratur walaupun jarak ke tempat
pelayanan kesehatan jauh. (Syaer, 2010).
Maya Kurniasari (2011), mengatakan
faktor ekonomi ikut berperan dalam pemilihan tempat pengobatan. Hal ini dapat
dilihat dari klasifikasi pasien yang datang ketempat pengobatan tradisional
sebagian besar pekerjaannya adalah buruh kasar, sopir dan tukang parkir.
Keadaan
sosial ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya penderita obesitas
lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi,
dan sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan dikalangan masyarakat yang
status ekonominya rendah.
Situasi ekonomi sekarang akan mempengaruhi pilihan produk.
Penyedia produk yang peka terhadap pendapatan mengamati kecenderungan dalam
pendapatan pribadi, tabungan dan tingkat minat. Bila indikator ekonomi menunjukkan
resesi, lembaga pelayanan kesehatan dapat mengambil langkah-langkah untuk
merancang ulang, memposisikan kembali dan mengubah harga produknya.
5.
Pekerjaan
Menurut Daryanto (1997) pekerjaan
adalah kegiatan rutin yang dilakukan subjek penelitian diluar rumah yang
menghasilkan imbalan materi maupun uang. (Nurhasanah, 2008).
Nurhasanah (2008) membagi pekerjaan
menjadi 2 yaitu bekerja dan tidak bekerja. Bekerja apabila subjek penelitian
memiliki kegiatan rutin yang dilakukan diluar rumah yang menghasilkan imbalan
materi maupun uang. Sedangkan tidak bekerja apabila subjek penelitian tidak
memiliki kegiatan rutin yang dilakukan diluar rumah yang menghasilkan imbalan
materi maupun uang.
Pekerjaan adalah penduduk yang
berpotensial dapat bekerja, yang dapat memproduksi barang atau jasa ada
permintaan terhadap tenaga mereka mau berpartisipasi dalam rangka aktifitas
tersebut. Menurut Labor Force Consepth, yang digolongkan bekerja adalah mereka
yang melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan
untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan, baik mereka yang bekerja penuh
maupun tidak. Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk mencari atau
mendapatkan nafkah. (Syaer, 2011).
Bekerja atau tidaknya seseorang akan
turut berpengaruh peminatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, semakin
baik jenis pekerjaan dari seseorang semakin tinggi permintaan terhadap
pelayanan kesehatan. Indikatornya adalah mempunyai pekerjaan tetap memanfaatkan
pelayanan kesehatan walaupun harus meninggalkan pekerjaan. (Syafruddin Syaer,
2010).
Persentase pasien tidak bekerja yang
rawat jalan di Puskesmas lebih besar daripada yang bekerja. Hubungan antara
pekerjaan pasien dan perilaku pasien rawat jalan di Puskesmas secara statistik
bermakna. (Supardi dkk, 2011).
Hasil penelitian Herlina (2001)
menunjukkan bahwa variabel sikap dan pekerjaan berhubungan dengan pemilihan
jenis pengobatan alternatif. Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa
yang dipilihnya. Lembaga pelayanan kesehatan berusaha mengenali kelompok pekerjaan
yang mempunyai minat di atas rata-rata akan produk dan jasa mereka. Sebuah
perusahaan bahkan dapat melakukan spesialisasi dalam memasarkan produk menurut
kelompok pekerjaan tertentu. Dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, rumah
sakit dapat menjalin kerja sama dengan suatu perusahaan agar rumah sakit
tersebut dijadkan tempat rujukan bagi karyawan atau pekerja yang sedang sakit.
Ada
hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya dikalangan
petani banyak yang menderita penyakit cacing akibat kerja yang banyak dilakukan
disawah dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya buruh yang bekerja
diindustri , misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit saluran
pernapasan karena banyak terpapar dengan debu.
6.
Akses
Akses
dapat mempengaruhi frekuensi kunjungan ditempat pelayanan kesehatan, makin
dekat jarak tempat tinggal dengan pusat pelayanan kesehatan makin besar jumlah
kunjungan di pusat pelayanan tersebut, begitu pula sebaliknya, makin jauh jarak
tempat tinggal dengan pusat pelayanan kesehatan makin kecil pula jumlah
kunjungan di pusat pelayanan kesehatan tersebut. Akses masyarakat atau
transportasi masyarakat Pesisir ke lokasi pelayanan kesehatan sangat
mempengaruhi pemanfaatan atau tidak dimanfaatkannya pelayanan kesehatan terutama
Puskesmas. Pelayanan kesehatan yang lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal
baik jarak secara fisik maupun secara finansial tentu tidak mudah dicapai.
Dengan demikian akses baik berupa jarak maupun transportasi yang di butuhkan
dari tempat tinggal ke pusat pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi tingkat
permintaan pelayanan kesehatan dan jika akses serta sulitnya transportasi dari
tempat tinggal yang jauh dari unit pelayanan kesehatan maka semakin besar untuk
tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Pemanfaatan
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh akses pelayanan kesehatan, waktu serta
biaya yang harus keluarkan untuk dapat memperoleh pelayanan kesehatan, mudah
atau tidaknya alat transportasi yang digunakan, serta besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan tersebut. Akan tetapi,
untuk beberapa kondisi tertentu besarnya jarak tidak terlalu mempengaruhi unsur
akses lain (alat transportasi, waktu tempuh, dan biaya) tergolong mudah.
Kondisi keuangan yang terbatas dan keharusan untuk mencapai pelayanan kesehatan
masyarakat dengan biaya lebih membuat beberapa responden memilih untuk tidak
berobat ke puskesmas sekalipun biaya pengobatannya gratis.
7. Tradisi
Tradisi
adalah kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya
masyarakat yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota
masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun
terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Dalam tradisi diatur bagaimana
manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan
kelompok manusia lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan
bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Hasil penelitian yang di
lakukan dengan analisis univariat menunjukkan bahwa masyarakat Desa Bungin
Permai masih banyak yang memiliki tradisi yang tidak mendukung di bandingkan
tradisi yang mendukung dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, Hal ini
disebabkan karena mereka masih terpengaruh oleh tradisi atau kepercayaan yang
berlaku dalam masyarakat, sehingga dalam penyembuhan penyakit mereka percaya
pada mantera yang dibuat oleh dukun.
Kepercayaan
masyarakat Pesisir terhadap mantra yang dibuat oleh dukun mempunyai kekuatan
tersendiri dalam penyembuhan penyakit. Masyarakat Pesisir masih percaya akan
hal-hal mistis seperti penyakit yang datang dari roh-roh makhluk halus sehingga
upaya yang dilakukan dalam menyembuhkan penyakit tersebut adalah melakukan
pengobatan dengan menggunakan dukun. Mereka yakin bahwa dukun mampu
menyembuhkan penyakit tersebut dengan mantra atau ramuan-ramuan tertentu,
sementara untuk sarana kesehatan berupa Puskesmas mereka tidak percaya akan
mampu menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus tersebut.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, masyarakat di desa bungin permai
sangat percaya akan hal-hal mistis walaupun tingkat pendidikan beberapa
responden dikatakan tinggi tapi mereka masih percaya akan hal tersebut.
Mereka
juga meyakini bahwa pengobatan yang dilakukan oleh dukun baik itu berupa ramuan
ataupun mantra dapat menyembuhkan penyakit. Sehingga tidak jarang dari mereka
mengalami penyakit yang kronis dan kembali membutuhkan pelayanan kesehatan
Puskesmas atau rumah sakit. Kepercayaan dan dari segi daya tarik, dukun telah
banyak menyembuhkan masyarakat pesisir jika mengalami sakit. Masyarakat
beranggapan dukun mampu menyelesaikan maslaah yang berhubungan dengan penyakit
yang dideritanya, sedangkan dari segi kemudahan (faktor geografis dan ekonomi)
masyarakat Pesisir mudah menjangkau tempat tersebut (dukun). Inilah yang
dirasakan masyarakat dalam melakukan pengobatan ketika mengalami gangguan
kesehatan, sehingga dalam memilih pengobatan lebih cenderung kedukun, ditambah
lagi dari segi pengetahuan tentang pengobatan medis yang masih kurang karena
disebabkan tingkat pendidikan yang rendah. keyakinan adalah kecenderungan untuk
melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu memberikan respon baik berupa
respon yang positif maupun yang bersifat negatif terhadap orang, objek atau
situasi juga dibuktikan bahwa sikap merupakan perasaan tertentu, predisposisi
ataupun jumlah keprcayaan tertentu yang dianjurkan kepada objek manusia ataupun
situasi. Tanpa sikap yang positif dari pasien untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan, maka kemungkinan untuk dimanfaatkannya sebuah pelayanan kesehatan
sangat sulit untuk terjadi. Karena tanpa sikap positif pasien, kemungkinan
takut untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang disediakan tersebut. Bermata
pencaharian sebagai nelayan membuat masyarakat lebih banyak menghabiskan
waktunya di laut sehingga faktor kesehatan tidak menjadi perhatian utama
mereka. Hal ini didasari pada nilai-nilai yang mereka yakini bahwa ketika ada
anggota keluarga mereka yang sakit, masyarakat masih mengandalkan pengobatan
tradisional (dukun) dibandingkan dengan pengobatan medis.
I
Referensi
Notoadmojo, Soekidjo. 2014. “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Jakarta:
Rineka Cipta
Disusun Oleh Lilis Suryani
Terimakasih Kepada Dosen Pengampu Zaidir, ST., MCs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar