BAB
I
PENDAHULUAN
BAB 1.1 Latar Belakang
Masa
nifas adalah (puerperium) adalah masa setelah partus selesai dan berakhir
setelah kira kira 6 minggu yang berlangsung antara berakhirnya organ-organ
reproduksi wanita ke kondisi normal seperti sebelum hamil. Di negara berkembang
seperti Indonesia, masa nifas merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun
bayinya. Pada masa ini ibu mengalami kelelahan setelah melahirkan sehingga
dapat mengurangi produksi ASI . Penurunan produksi ASI dan pengeluaran ASI pada
hari-hari pertama melahirkan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi hormon
prolaktin dan hormon oksitosin. Faktor yang dapat mempengaruhi kelancaran
produksi dan pengeluaran ASI yaitu perawatan payudara, frekuensi menyusui,
paritas, stres, penyakit atau kesehatan ibu, konsumsi rokok atau alkohol,
sebaiknya dilakukan segera pil kontasepsi, asupan nutrisi. Perawatan payudara
setelah persalinan (1-2) hari, dan harus dilakukan ibu secara rutin, dengan
pemberian rangsangan pada otot-otot payudara akan membantu merangsang hormon
prolaktin untuk membantu produksi air susu ibu.
Air
Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein laktose dan
garam – garam organik yang disekresi oleh kedua belah payudara ibu sebagai
makanan utama bagi bayi. ASI sangat bermanfaat bukan hanya untuk bayi saja,
juga untuk ibu, keluarga, dan negara .(2) Manfaat untuk bayi antara lain
nutrien yang sesuai untuk bayi, mengandung zat protektif sehingga jarang
menderita penyakit, efek psikologis, pertumbuhan yang baik, mengurangi karies
dan maloklusi.Sedangkan manfaat untuk ibu adalah sebagai keluarga berencana,
aspek psikologis dan kesehatan ibu karena dengan isapan bayi akan merangsang
terbentuknya oksitosin oleh kelenjear hipofisis sehingga dapat membantu
involusi uterus serta mencegah terjadinya perdarahan.(2) ASI menurut stadium
laktasi terdiri dari kolostrum, ASI transisi, dan ASI matur. Kolostrum
merupakan ASI yang di produksi beberapa saat setelah bayi lahir sampai hari ke
tiga atau ke empat, warnanya lebih kuning dan lebih kental dari pada ASI.
Kolostrum akan merangsang pembentukan daya tahan tubuh sehingga berfungsi
sebagai imunisasi aktif dan pasif
Berbagai
kelebihan kolostrum tersebut sangat dianjurkan pada ibu untuk memberikan
kolostrum segera setelah kelahiran bayinya, dengan tujuan untuk menurunkan
angka kesakitan (morbidity) pada bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri,
virus, dan jamur. Oleh karena itu kolostrum sangat penting dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan bayi.(2) Untuk memperlancar pengeluaran kolostrum
maka harus sering menyusukan bayi agar terjadi perangsangan putting susu,
terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI makin lancar. Dua
refleks prolaktin pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi, refleks
prolaktin dan refleks aliran timbul akibat perangsangan putting susu terdapat
banyak ujung saraf sensoris. Bila ini dirangsang, timbul implus yang menuju
hipotalamus selanjutnya ke kelenjer hipofisis bagian depan sehingga kelenjer
ini mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon inilah yang rangsangan penyusuan
makin banyak pula produksi ASI. Refleks aliran (let down refleks) rangsangan
putting susu tidak hanya diteruskan sampai kekelenjar hipofisis depan, tetapi
juga kekelenjar hipofisis bagian belakang, yang mengeluarkan hormon oksitosin
Untuk
memperlancar keluarnya hormon oksitosin maka perlu dilakukan pula merangsang
refleks oksitosin yaitu pijat oksitosin. Pijat oksitosin adalah teknik
pemijatan pada daerah tulang belakang leher, punggung, atau sepanjang tulang
belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima sampai keenam.(2) Banyak ibu
yang merasa bahwa ASI belum keluar pada hari pertama sehingga bayi dianggap
perlu diberikan minuman lain, padahal bayi yang lahir cukup bulan dan sehat
mempunyai persediaan kalori dan cairan yang dapat mempertahankannya tanpa
minuman selama beberapa hari. Disamping itu, pemberian minum sebelum ASI keluar
akan menghambat pengeluaran ASI karena bayi menjadi kenyang dan malas menyusui
Berdasarkan
SDKI 2007, jumlah pemberian ASI Ekslusif di indonesia masih rendah yaitu 32%
dari total kelahiran bayi. Pada saat yang bersamaan bayi – bayi yang lahir di
fasilitas kesehatan lebih cenderung untuk tidak mendapatkan ASI secara
ekslusif, hal ini disebabkan sosialisasi inisiasi menyusui dini yang masih
minim serta pengetahuan dan kesadaran dari masyarakat arti pentingnya ASI
Ekslusif
Menurut
Dirjen Gizi dan KIA (2011) masalah utama masih rendahnya penggunaan ASI di
Indonesia adalah faktor sosial budaya, kurangnya pengetahuan ibu, keluarga, dan
masyarakat akan pentingnya ASI, serta jajaran kesehatan yang belum sepenuhnya
mendukung peningkatan ASI. Masalah ini diperburuk dengan gencarnya promosi susu
formula dan kurangnya dukungan dari masyarakat
Berdasarkan
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI sebesar 359 per
100.000 kelahiran hidup angka ini cukup tinggi di bandingkan negara – negara
tetangga di kawasan ASEAN. Sedangkan Angka Kematian bayi (AKB) Dan Angka
Kematian Balita (AKABA), perhatian terhadap penurunan angka kematian neonatal
(0 – 28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi 4 kontribusi
terhadap 59% kematian bayi(5) . Hasil Survey Lembaga Demografi dan kesehatan
indonesia (SData menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 persentase bayi
yang menyusui eksklusif sampai 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui
kurang dari 1 jam setelah bayi lahir 29,3%, tertinggi di NTT (Nusa Tenggara
Timur) 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebahagian besar proses menyusui
dilakukan pada kisaran 1-6 jam setelah lahir tetapi masih ada 11,1% proses
mulai disusui setelah 48 jam. Pemberian kolostrum cukup baik dilakukan oleh
74,7% ibu kepada bayinya. Pemberian susu formula pada bayi baru lahir di
Sulawesi Selatan sebanyak 45,90% dan yang memberikan madu 16,20%DKI) 2013
pemberian ASI Eksklusif meningkat menjadi 42% dibandingkan tahun 2012 sebanyak 32%
Berdasarkan
laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2013 cakupan ASI
Eksklusif yaitu sebesar 68,9% dan pada tahu 2014 pencapaian cakupan ASI
Eksklusif yaitu sebesar 72,5%. Dilihat dari data bahwa cakupan ASI eksklusif
terus meningkat, namun bertentangan dengan keadaan di lapangan ibu yang
memberikan ASI eksklusif pada bayinya masih rendah.
Kabupaten
Dharmasraya pada tahun 2014 cakupan ASI eksklusif yaitu sebesar 70,1%.
Puskesmas Sungai Dareh cakupan ASI Ekslusif pada tahun 2014 yaitu 66,7% hal ini
mengalami peningkatan dari tahun 2013 sebesar 63,5%. Namun cakupan ASI
eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh masih rendah diantara
puskesmas- puskesmas yang ada di Kabupaten Dharmasraya
Besarnya
manfaat ASI tidak diimbangi oleh peningkatan perilaku pemberian ASI sehingga
bayi tidak mendapatkan ASI dengan baik. Beberapa faktor di duga menjadi
penyebab bayi tidak mendapatkan ASI dengan baik salah satunya adalah faktor
pengetahuan ibu Keengganan ibu untuk menyusui karena rasa sakit saat 5
menyusui, kelelahan saat menyusui, serta kekhawatiran ibu mengenai perubahan
payudara setelah menyusui. Faktor sosial budaya, kurangnya dukungan keluarga
dan lingkungan dalam proses menyusui juga sangat berpengaruh terhadap proses
pemberian ASI. Kurangnya pendidikan kesehatan mengenai faktor-faktor yang dapat
meningkatkan produksi ASI turut mempengaruhi pengetahuan ibu primi para yang
dapat menyebabkan kurangnya volume ASI (Budiharjo, 2003; Lubis, 2010, hlm. 35).
Tidak
semua ibu post partum langsung mengeluarkan ASI karena pengeluaran ASI
merupakan suatu interaksi yang sangat komplek antara rangsangan mekanik, saraf
dan bermacam-macam hormon yang berpengaruh terhadap pengeluaran oksitosin.
Pengeluaran hormon oksitosin selain dipengaruh oleh isapan bayi juga
dipengaruhi oleh reseptor yang terletak pada sistem duktus, bila duktus melebar
atau menjadi lunak maka secara reflektoris dikeluarkan oksitosin oleh hipofise
yang berperan untuk memeras air susu dari alveoli oleh karena itu perlu adanya
upaya mengeluarkan ASI untuk beberapa ibu post partum. (10) Pengeluaran ASI
dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu produksi dan pengeluaran. Produksi ASI
dipengaruhi oleh hormon prolaktin sedangkan pengeluaran di pengaruhi oleh
hormon oksitosin. Hormon oksitosin akan keluar melalui rangsangan ke puting
susu melalui isapan mulut bayi atau melalui pijatan pada tulang belakang ibu
bayi, dengan dilakukan pijatan pada tulang belakang ibu akan merasa tenang,
rileks, meningkatkan ambang rasa nyeri dan mencintai bayinya, sehingga dengan
begitu hormon oksitosin keluar dan ASI pun cepat keluar (WBW, 2007, hlm. 39).
Pijatan atau rangsangan pada tulang
belakang, neuro transmitter akan merangsang medulla oblongata langsung mengirim
pesan ke hypothalamus di hypofise posterior untuk mengeluarkan oksitosin
sehingga menyebabkan buah dada mengeluarkan air susunya. Pijatan di daerah
tulang belakang ini juga akan 6 merileksasi ketegangan dan menghilangkan stress
dan dengan begitu hormon oksitosoin keluar dan akan membantu pengeluaran air
susu ibu, dibantu dengan isapan bayi pada puting susu pada saat segera setelah
bayi lahir dengan keadaan bayi normal (Guyton, 2007, hlm. 45).
Pijat merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi ketidaklancaran produksi ASI. Pijat adalah pemijatan pada sepanjang
tulang belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima-keenam dan merupakan
usaha untuk merangsang hormon prolaktin dan oksitosin setelah melahirkan
(Biancuzzo, 2003; Indiyani, 2006; Yohmi & Roesli, 2009). Pijatan ini
berfungsi untuk meningkatkan hormon oksitosin yang dapat menenangkan ibu,
sehingga ASI pun otomatis keluar. Penelitian yang dilakukan oleh Eko (2011)
menunjukkan bahwa kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin dapat
meningkatkan produksi ASI.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di
Puskesmas Kartasura diketahui bahwa 6 dari 10 ibu kebingungan ketika bayi
mereka menangis sedangkan ASI yang keluar belum lancar. Mereka masih tampak
canggung dalam posisi menyusui. Mereka sempat bertanya mengenai cara agar
ASInya banyak. Ibu-ibu tersebut memiliki keinginan untuk memberikan ASI
eksklusif pada bayi mereka. Informasi juga didapatkan dari petugas yang
mengatakan bahwa sekitar 30% ibu mengeluh bahwa produksi ASI nya kurang lancar.
Berdasarkan latar belakang dan hasil pencapaian ASI Ekslusif serta wawancara
dari ibu – ibu yang menyusui maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Produksi Asi Pada Ibu Nifas Di
Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam Penelitian yang akan dilakukan adalah “ Pengaruh
Pijat
Oksitosin Terhadap Produksi ASI Pada Ibu Nifas di wilayah Kerja Puskesmas
Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya tahun 2016’’.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Pengaruh pijat oksitosin
terhadap Produksi ASI pada Ibu Nifas di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui rerata
Produksi ASI sebelum melakukan pijat oksitosin pada Ibu Nifas di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016
2.
Untuk mengetahui rerata produksi ASI pada ibu
Nifas sesudah menerima pijat Oksitosin di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016.
3.
Untuk membandingkan produksi ASI pada Ibu
Nifas sebelum dan sesudah menerima pijat oksitosin di wilayah kerja Puskesmas
Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016.
1.4 Manfaat Penelitian
1.
Bagi Peneliti
Diharapkan dapat menambah pengalaman dalam hal metode penelitian dan menjadi
referensi sehingga dapat menambah wawasan
2.
Bagi Institusi Diharapkan dapat menjadi
informasi dan bahan masukan bagi puskesmas dan dinas kesehatan serta
meningaktkan derajat kesehatan masyarakat.
3.
Bagi Intansi
Tersedianya informasi bagi puskesmas sungai dareh tentang Pengaruh pijat
oksitosin terhadap Produksi ASI pada Ibu Nifas di wilayah kerja Puskesmas
Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian
Ruang
lingkup penelitian adalah Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Produksi ASI Pada
Ibu Nifas di wilayah Kerja Puskesmas Sungai dareh Kabupaten Dharmasraya.
Penelitian ini akan dilakukan pada Bulan januari sampai juni 2016 , dimana
jenis penelitian ini Kuantitatif dengan menggunakan desain quasi eksperimental
pre and post.
BAB II
TINJAUAN KONSEP DAN
TEORI
2.1.Konsep Nifas
Masa
nifas (puerperium), berasal dari bahasa latin, yaitu puer yang artinya bayi dan
parous yang artinyamelahirkan atau berari masa setelah melahirkan. Masa nifas
(puerperium) merupakan masa yang berlangsung selama 6 minggu sejak bayi lahir
sampai organ-organ reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil sebagai
akibat dari adanya perubahan fisiologi psikologi karena proses kehamilan
(Bobak, et al., 2005). Periode pemulihan pascapartum ini berlangsung sekitar 6
minggu atau sekitar 42 hari.
Rubin (1961, dalam Bobak, et al., 2005)
menjelaskan bahwa adaptasi psikologi ibu pada masa nifas terbagi dalam 3 fase
yaitu:
1)
Fase menerima (taking
in) Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan, ibu masih pasif dan sangat
bergantung pada orang lain sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan
istirahat dan makanan, fokus perhatian terhadap tubuhnya sendiri. Ibu lebih
mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami.
2)
Fase taking hold Terjadi pada hari3-4 setelah
persalinan, ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung
jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi dan keinginan untuk melakukan segala
sesuatu secara mandiri. Pada masa ini, ibu menjadi sangat sensitif dan tidak
jarang terjadi depresi. Perasaan mudah tersinggung bisa timbul akibat berbagai
factor Secara psikologis, ibu mungkin jenuh dengan banyaknya tanggung jawab
sebagai orang tua dan perasaan kehilangan dukungan yang pernah diterima ketika
hamil. Selain itu, keletihan setelah melahirkan diperburuk oleh tuntutan bayi
yang banyak sehingga dengan mudah dapat timbul perasaan depresi. Ibu
membutuhkan bimbingan dan dukungan dari keluarga, petugas kesehatan, dan
orang-orang terdekat
3)
Fase letting go Dialami
setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu mulai secara penuh menyadari tanggung
jawab sebagai seorang ibu dan menyadari bahwa kebutuhan bayi sangat bergantung
pada dirinya.
2.2.Konsep Laktasi
Depkes RI (2005) mendefinisikan laktasi adalah
keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi
menghisap dan menelan ASI. Laktasi merupakan bagian integral dari siklus
reproduksi mamalia termasuk manusia.
Laktasi mempunyai 2 pengertian yaitu
pembentukan ASI (refleks prolaktin) dan pengeluaran ASI (reflek oksitosin/let
down) (Perinasia, 2011).
a) Pembentukan
ASI (refleks prolaktin) Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan payudara
terutama besarnya payudara yang disebabkan oleh adanya proliferasi sel-sel
duktus laktiferus dan sel-sel kelenjar pembentukan ASI serta lancarnya
peredaran darah Hormon prolaktin merupakan suatu hormon yang disekresi oleh
glandula pituitari dan memiliki peranan penting dalam memproduksi ASI. Kerja
hormon ini dihambat oleh hormon plasenta. Dengan lepasnya atau keluarnya
plasenta pada akhir proses persalinan, maka kadar esterogen dan progesteron
berangsur-angsur menurun sampai pada tingkat dimana prolaktin dapat dilepaskan
dan diaktifkan. Hormon prolaktin kemudian merangsang sel-sel alveoli yang
berfungsi memproduksi air susu. Kadar prolaktin yang tinggi dipertahankan
melalui efek menyusui, dan sekresi air susu yang banyak sekali muladan tampak
secara klinis dua hingga tiga hari pascapartum. Menyusui melalui stimulasi
puting susu memberi stimulasi terhadap pelepasan prolaktin. Tanpa stimulasi
puting susu, kadar prolaktin menurun sampai pada kadar wanita tidak hamil.
Dalam payudara, juga terdapat mekanisme lokal pengendalian air susu. Contohnya,
pengeluaran air susu menstimulasi sintesis air susu dan jika air susu tidak
dikeluarkna, sekresi berhenti selama periode beberapa hari. Kecepatan sintesis
air susu dan banyaknya air susu yang diproduksi dapat bervariasi pada tiap
payudara menurut frekuensi menyusui dan banyaknya air susu yang dikeluarkan.
Pada ibu menyusui prolaktin akan meningkat dalam keadaan-keadaan seperti:
a) Stress atau
pengaruh psikis,
b)Anestesi,
c) Operasi,
d) Rangsangan
puting susu,
e) Hubungan
kelamin, dan
f) Obat-obatan
trangulizer hipotalamus seperti reserpin, klorpromazim, dan fenotiazid.pada
payudara. Proses proliferasi ini dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan
oleh plasenta, yaitu prolaktin, esterogen dan progesterone
b) Pengeluaran
ASI (Refleks oksitosin/let down reflex/milk ejection reflex) Proses pelepasan
ASI atau sering disebut sebagai refleks letdown berada dibawah kendali
neouroendokrin. Rangsangan sentuhan pada payudara (hisapan bayi) akan
merangsang produksi oksitosin oleh kelenjar hiposfisis posterior. Oksitosin
memasuki darah dan menyebabkan kontraksi sel-sel myoepithel yang mengelilingi
alveolus mamae dan duktus lactiferous. Kontraksi sel-sel myoepithel ini
mendorong ASI keluar dari alveoli melalui duktus lactiferous menuju sinus
lactiferous, tempat ASI disimpan. Pada saat bayi menghisap, ASI didalam sinus
tertekan keluar, masuk kedalam mulut bayi. Beberapa tanda adanya refleks
oksitosin menurut Depkes RI (2005) adalah:
a. Rasa
diperas atau tingling pada payudara sebelum dan selama menyusui,
c. ASI menetes pada payudara yang lain bila bayi
menyusui,
d. Rasa sakit karena kontraksi rahim,
kadang-kadang disertai keluarnya darah, waktu menyusui, dan
e. Isapan pelan dan dalam serta menelan
menunjukkan ASI mengalir kedalam mulut bayi.
Ikatan
Dokter Anak Indonesia (2008) mengatakan bahwa hal-hal yang dapat meningkatkan
produksi oksitosin, antara lain
a) Ibu
dalam keadaan tenang,
b) Mencium dan mendengarkan celotehan bayi dan
tangisannya,
c) Melihat
dan memikirkan bayinya dengan perasaan kasih sayang,
d) Memikirkan
untuk menyusui bayi,
e) Ayah
menggendong bayi dan diberikan kepada saat akan menyusui,
f) Ayah menggantikan popok dan memandikan bayi,
g) Ayah bermain, menggendong, mendendangkan nyanyian,
dan membantu pekerjaan rumah tangga,
h) Ayah
memijat bayi.
Sementara itu,
hal-hal yang dapat mengurangi produksi oksitosin, antara lain:
a. Ibu
merasa takut jika menyusui dan merusak bentuk payudara,
b. Ibu merasa khawatir produksi ASI-nya tidak
cukup,
c. Ibu
merasa kesakitan, terutama saat menyusui,
d. Ibu merasa sedih, cemas, kesal, dan bingung,
e) Ibu merasa malu untuk menyusui,
e. Ibu merasa kelelahan, dan
f. Suami
atau keluarga kurang mendukung dan tidak mengerti ASI.
Gambar 2.1 Refleks Oksitosin
2.3.Pijat oksitosin
Salah satu cara yang dilakukan untuk mempelancar
produksi ASI adalah dengan pijat oksitosin. Pijat oksitosin adalah suatu
tindakan pemijatan tulang belakang mulai dari costa ke 5-6 sampai scapula atau
tulang belikat akan mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan
perintah ke hipofisis posterior untuk mengeluarkan hormon oksitosin (Suherni,
2010; Hamranani, 2010). Pijat oksitosin dilakukan untuk merangsang refleks
oksitosin atau refleks let down dan bisa dilakukan dengan bantuan keluarga
terlebih suami. Secara umum, Pace (2001) mengatakan bahwa pijat secara
signifikan dapat mempengaruhi system saraf perifer, meningkatkan rangsangan dan
konduksi impuls saraf, melemahkan dan menghentikan rasa sakit serta
meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ serta membuat otot menjadi
fleksibel sehingga merasa nyaman dan rileks. Oleh karena itu, setelah dilakukan
pijat oksitosin ini diharapkan ibu akan merasa rileks sehingga ibu tidak
mengalami kondisi stress yang bisa menghambat refleks oksitosin.
Langkah-langkah
pijat oksitosin menurut Depkes (2007) adalah sebagai berikut:
a. Posisikan
ibu dalam keadaan nyaman
b. Meminta
ibu untuk melepaskan baju bagian atas
c. Ibu miring kekanan atau kekiri dan memeluk
bantal atau ibu duduk dikursi, kemudian kepala ditundukkan/ meletakkan diatas
lengan.
d. Petugas
kesehatan memasang handuk dipangkuan ibu
e. Petugas
kesehatan melumuri kedua telapak tangan dengan minyak zaitun atau baby oil
f. Kemudian melakukan pijatan sepanjang kedua
sisi tulang belakang ibu dengan menggunakan dua kepalan tangan dengan ibu jari
menunjuk kedepan
g. Menekan
kuat-kuat kedua sisi tulang belakang membentuk gerakangerakan melingkar
kecil-kecil dengan kedua ibu jari
h. Pada saat yang bersamaan, memijat kedua sisi
tulang belakang ke arah bawah, dari leher ke arah tulang belikat, selama 2-3
menit
i.
Mengulangi pemijatan hingga 3 kali
j.
Membersihkan punggung ibu dengan waslap yang
sudah dibasahi air
Gambar 2.2 Pijat
Oksitosin
Sumber : Depkes RI, 2007
2.4.Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pijat oksitosin pada ibu nifas
Keberhasilan pijat oksitosin tidak terlepas
dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian Purnama (2013)
mengatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan pijat oksitosin
terhadap pengeluaran ASI adalah sebagai berikut:
1. Faktor
psikologi
Persiapan
psikologis ibu sangat menentukan keberhasilan menyusui (IDAI, 2008). Stress,
khawatir, ketidakbahagiaan pada periode menyusui sangat berperan dalam
mensukseskan pemberian ASI. Faktor-faktor ini akan diperkirakan dapat
meningkatkan kadar epinefrin dan neroepinefrin yang selanjutnya akan menghambat
transportasi oksitosin ke dalam payudara. Ada beberapa jenis stres yang umum
dialami oleh ibu menyusui. Dari mulai khawatir akan kurangnya kuantitas
produksi ASI, khawatir kualitas ASInya tidak cukup baik untuk sang bayi, takut
bentuk tubuh atau payudaranya berubah, perubahan pola/gaya hidup (terutama bagi
ibu yang menyusui anak pertama), merasa pemberian ASI kurang praktis bagi ibu
yang bekerja, dan stres akibat kurangnya dukungan suami terhadap pemberian ASI
sebagai makanan terbaik untuk bayi. Derek (2005) juga mengatakan bahwa produksi
ASI ibu sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan. Ibu yang selalu dalam keadaan
gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan, ketakutan, pengunjung yang tidak
simpatik dan berbagai bentuk ketegangan emosional, akan mengakibatkan ibu gagal
dalam menyusui bayinya karena kondisi ini dapat menghambat pengeluaran hormon
oksitosin sehingga mencegah masuknya ASI Universitas Sumatera Utara 14 ke dalam
pembuluh payudara. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Perinasia (2011)
yang mengatakan bahwa produksi ASI sangat dipengaruhi oleh kejiwaan, ibu yang
selalu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk
ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan produksi ASI berhenti
sama sekali
2. Faktor
kenyamanan ibu
Umumnya, ibu akan mengalami gangguan rasa
nyaman segera setelah memasuki masa nifas. Bagi ibu yang menyusui gangguan rasa
nyaman biasanya adalah rasa nyeri karena puting lecet yang disebabkan oleh
posisi menyusui dan perlekatan bayi yang tidak tepat dan payudara bengkak yang
disebabkan oleh air susu yang melimpah tidak keluar. Puting lecet dan payudara
bengkak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengeluaran ASI. Ibu
sering berhenti menyusui karena kondisi ketidaknyamanan yang ibu rasakan
(Purnama, 2013). Rangsangan isapan bayi akan berkurang karena ibu berhenti
menyusui sehingga pengeluaran ASI juga akan menurun (Suradi, 2004).
3.
Pelaksanaan
Pijat Oksitosin
Pijat oksitosin dilakukan di sepanjang kedua
sisi tulang belakang ke arah bawah, dari leher kearah tulang belikat. Pijatan
dilakukan dengan menekan kuat-kuat ke dua sisi tulang belakang menggunakan
kepalan tangan dengan ibu jari menunjuk ke depan dan membentuk gerakan
melingkar kecil-kecil dengan kedua ibu jari. Frekuensi dilakukannya pijat
oksitosin juga dapat mempengaruhi hasil pengeluaran ASI. Menurut Hockenberry
(2002, dalam Universitas Sumatera Utara 15 Purnama, 2013) menyatakan bahwa
produksi ASI dengan menggunakan pijat oksitosin dan perawatan payudara lebih
efektif apabila dilakukan sehari 2 kali, pagi dan sore. Pijat oksitosin bisa
dilakukan dengan bantuan keluarga terlebih suami.
4. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga
(suami dan orang tua) sangat diperlukan untuk ketentraman ibu menyusui, selain
itu nasehat dari mereka yang lebih berpengalaman akan membantu keberhasilan
menyusui (Depkes RI, 2005). Seorang ayah dan lingkungan yang mengelilingi ibu
sangat menentukan keberhasilan menyusui. Bahkan proses pemberian ASI itu
sendiri memiliki aspek psikologis dan rohaniah antara ibu, bayi, dan seorang
ayah, bukan hanya sekedar tempel dan biarkan menyusui saja (IDAI, 2008).
Seorang suami mempunyai peran yang sangat baik dalam membantu ibu mencapai
keberhasilan menyusui bayinya. Suami dan keluarga memiliki peran penting dalam
menciptakan ketenangan, kenyamanan dan kasih sayang. Kebahagiaan, kenyamanan,
dan ketenangan yang dirasakan ibu akan meningkatkan produksi hormon oksitosin
sehingga ASI dapat mengalir dengan lancar (Permenegpp RI, 2010)
5.Dukungan petugas
kesehatan
Dukungan petugas kesehatan sangat diperlukan
untuk memandirikan dan memberdayakan ibu dan keluarga dirumah. Petugas
kesehatan dalam hal ini perawat atau bidan memberikan informasi mengenai
tentang pijat oksitosin dan melakukan pijat oksitosin. Selain itu, petugas
kesehatan juga perlu memotivasi Universitas Sumatera Utara 16 ibu untuk
melakukan pijat oksitosin secara mandiri .Petugas kesehatan dapat memberikan
dukungan pada ibu dengan cara berkomunikasi, memberikan saran, dorongan dan
penyuluhan untuk memfasilitasi kemampuan ibu dalam memberikan ASI (Purnama,
2013). Selain itu, motivasi dari petugas kesehatan juga bisa meningkatkan
kepercayaan diri ibu, sehingga ibu bisa memiliki dorongan untuk melakukan pijat
oksitosin dirumah (Tiok, 2008).
2.5 Hasil Jurnal Penelitian Pijat Oksitosin
Menurut Eli
Rahmawati Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kaltim
Tabel 1 menunjukkan
perbandingan karakteristik responden pada kelompok intervensi dan kontrol
berdasarkan umur. Berdasarkan umur rata-rata
pada 30,23 tahun (95% CI: 27,37-33,89) dengan umur termuda 19 tahun dan
tertua 42 tahun. Pada kelompok kontrol ratarata inu nifas normal adalah 30,65
tahun (95% CI: 28,76-34,11) dengan umur termuda 21 tahun dan tertua 40 tahun. p
value dari hasil uji t pada Tabel 1. Karakteristik Subyek penelitian pada
kelompok intervensi dan kontrol
berdasarkan umur responden.
Kelompok
|
Mean
|
SD
|
Minimal-Maksimal
|
95% CI
|
P value
|
Intervensi
Kontrol
|
30,23 30,65
|
5,482 5,657
|
19-42
21-40
|
27,37-33,89
28,76-34,11
|
0,581
|
Kelompok umur
menunjukan nilai 0,581 yang berarti p value lebih besar dari nilai alpha
(alpha=0,05) kesimpulan tidak ada perbedaan dari kelompok intervensi dan
kontrol. Sehingga antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah
homogen berdasarkan umur.
Tabel 2 terlihat bahwa kelompok paritas responden yang
melahirkan primipara pada kelompok intervensi sebanyak 14 (58.3%) orang,
sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak sebanyak 10 (41.6%) orang. Sementara
ibu yang multipara pada kelompok intervensi sebanyak 11 (45.8%) dan pada
kelompok kontrol sebanyak 13 (54.2%) serta diketahui p value > dari 0,05%
yang berarti kedua kelompok homogen.
Berdasarkan
pendidikan sebagian besar ibu postpartum memiliki pendidikan rendah pada
kelompok intervensi sebanyak 13 (54.2%) dan berpendidikan tinggi sebanyak
11(45.8%) sedangkan kelompok kontrol ibu yang berpendidikan rendah
sebanyak 9 (37.5%) dan yang
berpendidikan tinggi sebanyak 15 (62.5%) orang.
Jika dilihat dari
distribusi responden berdasarkan paritas dan pendidikan nampak bahwa p value
masing-masing variabel < 0.05 ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan antara
kelompok intervensi dan kontrol jika dilihat dari tingkat pendidikan dan
paritas, yang berarti bahwa kedua kelompok adalah homogen.
Hasil analisis
hubungan pijat oksitosin terhadap produksi ASI pada ibu postpartum normal pada
pengukuran hari I pada kelompok ibu yang mendapatkan intervensi pijat
oksitoksin diperoleh sebanyak 16 (69.6%) ibu yang pengeluaran
Tabel 2.
Distribusi responden berdasarkan paritas dan pendidikan pada kelompok
intervensi dan kontrol
variabel
|
kelompok
|
value
|
|
Intervensi (12)
|
Kontrol (12)
|
||
Paritas Primipara
|
14 (58.3%)
|
10 (41.6%)
|
0,511
|
Paritas Multipara
|
11 (45.8%)
|
13 (54.2%)
|
|
Pendidikan Rendah
|
13 (54.2%)
|
11(45.8%)
|
0,645
|
Pendidikan Tinggi
|
9 (37.5%)
|
15(62.5%)
|
|
ASInya lancar dan 7 (30.4%) orang kelompok kontrol yaitu
ibu post- ibu postpartum yang pengeluaran ASInya tidak lancar. Dan pada partum
normal yang tidak mendapatkan pijat oksitoksin didapatkan sebanyak 9 (39.1%)
orang ibu postpartum yang pengeluaran ASInya lancar dan 14 (60.9%) yang
pengeluaran ASInya tidak lancar. Hasil uji statistik diperoleh p value 0.042
yang artinya ada perbedaan pengeluaran ASI antara kelompok ibu yang mendapat
pijat oksitoksin dengan ibu yang tidak dipijat oksitoksin. Dari hasil nilai OR
(95% CI) diperoleh angka sebesar 3.552 (1.217-12.128) yang bermakna bahwa ibu
postpartum normal yang mendapat pijat oksitoksin berpeluang memiliki
pengeluaran ASI yang lan-car sebanyak 3.552 kali diban-dingkan kelompok ibu
postpartum kontrol. hari ke II pada kelompok intervensi ditemukan 19 (82.6%)
orang ibu pengeluaran ASInya lancar dan 4 (17.4%) ibu yang pengeluaran ASInya
tidak lancar. Sementara pada kelompok kontrol didapatkan hasil bahwa 10 (43.5%)
ibu pengeluaran ASInya lancar sementara sisanya 13(56.5%) ibu pengeluaran
ASInya tidak lancar. Hasil uji statistik p value 0.012 yang berarti ada
perbedaan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Dari hasil nilai
OR (95% CI) diperoleh angka sebesar 5.710 (1.691-19.532) yang bermakna bahwa ibu
postpartum normal pada hari II yang mendapat pijat oksitoksin berpeluang
memiliki pengeluaran ASI yang lancar sebanyak 5.710 kali dibandingkan
pengeluaran ASI kelompok ibu postpartum normal yang tidak dilakukan pijat
oksitoksin.
Tabel 3. Hubungan
pijat oksitosin dengan pengeluaran ASI pada ibu postpartum normal pada hari I
dan II pada kelompok intervensi dan kontrol
di BPM Hj. NL tahun 2013.
Pengukuran Hari ke
|
Kelompok
|
Pengeluaran ASI
|
OR
|
P value
|
|||
Lancar
|
Tidak
|
95% CI
|
|
||||
|
|
n
|
%
|
n
|
%
|
|
|
I
|
Intervensi kontrol
|
17
|
69,6
|
7
|
30,4
|
3.552
|
0,042
|
9
|
39,1
|
15
|
60,9
|
(1.217-12.128)
|
|
||
II
|
Intervensi Kontrol
|
19
|
82,6
|
5
|
17,4
|
5.710
|
0,012
|
10
|
43,5
|
14
|
56,5
|
(1.691-19.532)
|
|
Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardiyaningsih di wilayah
Jawa Tengah pada tahun 2010. Pada analisa data menggunakan chi square terhadap
ibu postpartum sectio sesaria dengan pemberian intervensi kombinasi teknik
Marmet dan pijat oksitoksin dengan
jumlah sampel sebanyak 27, sebanyak 22
(81.5%) ibu produksi ASInya lancar sementara terdapat 11 (40.7%) saja pada ibu
kelompok kontrol yang produksi ASInya lancar. Pada analisa data terlihat nilai
p value 0.005 dan OR 6.400 (CI 1.85622.068) sehingga dapat dikatakan bahwa ibu
post SC yang diberikan intervensi kombinasi teknik marmet dan pijat oksitoksin
berpeluang 6 kali lebih besar memiliki produksi ASI lancar dibandingkan
kelompok kontrol.
Demikian pula yang
ditunjukkan pada penelitian tentang pijat oksitoksin untuk mempercepat
pengeluaran ASI yang dilakukan Ummah di Gresik dengan rancangan penelitian
Randomised Control Trial dengan menggunakan teknik sampling secara exhausive
dengan menggunakan uji independent sample test dengan hasil p value 0.000
(p<0.005).
Sebenarnya, laktasi
melibatkan proses produksi dan pengeluaran ASI. Produksi ASI sudah dimulai
sejak kehamilan, dan pengeluaran ASI masih dihambat selama masa kehamilan.
Segera setelah bayi dan placenta lahir, estrogen dan progesterone turun drastis
sehingga kerja prolaktin dan okstosin akan maksimal sehingga pengeluaran dan
pengeluaran ASI akan lancar. Tidak keluarnya ASI tidak semata karena produksi
ASI tidak ada atau tidak mencukupi, tetapi sering kali produksi ASI cukup namun
pengeluarannya yang dihambat akibat hambatan sekresi oksitosin. Pace. B
(2001) menyatakan bahwa pijat secara
signifikan dapat mempengaruhi system saraf perifer, meningkatkan rangsangan dan
konduksi impuls saraf, melemahkan dan menghentikan rasa sakit serta
meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ. Disamping itu membuat otot
menjadi fleksibel dan memberikan efek terapi dan santai sehingga merasa nyaman
dan rileks. Pijat oksitosin ini dilakukan untuk merangsang refleks oksitosin
atau refleks let down, dilakukan dengan cara memijat pada daerah punggung
sepanjang kedua sisi tulang belakang sehingga diharapkan dengan dilakukan
pemijatan ini, ibu akan merasa rileks dan kelelahan setelah melahirkan akan
hilang. Jika ibu rileks dan tidak kelelahan setelah melahirkan dapat membantu
merangsang pengeluaran hormon oksitosin (Depkes RI, 2007).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masa
nifas adalah masa sesudah melahirkan terhitung dari setelah persalinan sampai
pemulihannya dan alat kandungannya seperti keadaan sebelum hamil yang lamanya 6
minggu Salah satu cara yang dilakukan untuk mempelancar produksi ASI adalah
dengan pijat oksitosin. Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang
belakang mulai dari costa ke 5-6 sampai scapula atau tulang belikat akan
mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan perintah ke hipofisis
posterior untuk mengeluarkan hormon oksitosin (Suherni, 2010; Hamranani,
2010)..
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta:Mitra Cendikia
Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika
Suherni, 2007. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya
Disusun Oleh Lili Suryani
Terimakasih Kepada Dosen Pengampu Zaidir, ST., MCs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar