Minggu, 21 Juli 2019

Pemijatan Oksitosin


 
 PEMIJATAN OKSITOSIN
BAB I
PENDAHULUAN

BAB 1.1 Latar Belakang
Masa nifas adalah (puerperium) adalah masa setelah partus selesai dan berakhir setelah kira kira 6 minggu yang berlangsung antara berakhirnya organ-organ reproduksi wanita ke kondisi normal seperti sebelum hamil. Di negara berkembang seperti Indonesia, masa nifas merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bayinya. Pada masa ini ibu mengalami kelelahan setelah melahirkan sehingga dapat mengurangi produksi ASI . Penurunan produksi ASI dan pengeluaran ASI pada hari-hari pertama melahirkan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi hormon prolaktin dan hormon oksitosin. Faktor yang dapat mempengaruhi kelancaran produksi dan pengeluaran ASI yaitu perawatan payudara, frekuensi menyusui, paritas, stres, penyakit atau kesehatan ibu, konsumsi rokok atau alkohol, sebaiknya dilakukan segera pil kontasepsi, asupan nutrisi. Perawatan payudara setelah persalinan (1-2) hari, dan harus dilakukan ibu secara rutin, dengan pemberian rangsangan pada otot-otot payudara akan membantu merangsang hormon prolaktin untuk membantu produksi air susu ibu.
Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein laktose dan garam – garam organik yang disekresi oleh kedua belah payudara ibu sebagai makanan utama bagi bayi. ASI sangat bermanfaat bukan hanya untuk bayi saja, juga untuk ibu, keluarga, dan negara .(2) Manfaat untuk bayi antara lain nutrien yang sesuai untuk bayi, mengandung zat protektif sehingga jarang menderita penyakit, efek psikologis, pertumbuhan yang baik, mengurangi karies dan maloklusi.Sedangkan manfaat untuk ibu adalah sebagai keluarga berencana, aspek psikologis dan kesehatan ibu karena dengan isapan bayi akan merangsang terbentuknya oksitosin oleh kelenjear hipofisis sehingga dapat membantu involusi uterus serta mencegah terjadinya perdarahan.(2) ASI menurut stadium laktasi terdiri dari kolostrum, ASI transisi, dan ASI matur. Kolostrum merupakan ASI yang di produksi beberapa saat setelah bayi lahir sampai hari ke tiga atau ke empat, warnanya lebih kuning dan lebih kental dari pada ASI. Kolostrum akan merangsang pembentukan daya tahan tubuh sehingga berfungsi sebagai imunisasi aktif dan pasif
Berbagai kelebihan kolostrum tersebut sangat dianjurkan pada ibu untuk memberikan kolostrum segera setelah kelahiran bayinya, dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan (morbidity) pada bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, dan jamur. Oleh karena itu kolostrum sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan bayi.(2) Untuk memperlancar pengeluaran kolostrum maka harus sering menyusukan bayi agar terjadi perangsangan putting susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI makin lancar. Dua refleks prolaktin pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi, refleks prolaktin dan refleks aliran timbul akibat perangsangan putting susu terdapat banyak ujung saraf sensoris. Bila ini dirangsang, timbul implus yang menuju hipotalamus selanjutnya ke kelenjer hipofisis bagian depan sehingga kelenjer ini mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon inilah yang rangsangan penyusuan makin banyak pula produksi ASI. Refleks aliran (let down refleks) rangsangan putting susu tidak hanya diteruskan sampai kekelenjar hipofisis depan, tetapi juga kekelenjar hipofisis bagian belakang, yang mengeluarkan hormon oksitosin
Untuk memperlancar keluarnya hormon oksitosin maka perlu dilakukan pula merangsang refleks oksitosin yaitu pijat oksitosin. Pijat oksitosin adalah teknik pemijatan pada daerah tulang belakang leher, punggung, atau sepanjang tulang belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima sampai keenam.(2) Banyak ibu yang merasa bahwa ASI belum keluar pada hari pertama sehingga bayi dianggap perlu diberikan minuman lain, padahal bayi yang lahir cukup bulan dan sehat mempunyai persediaan kalori dan cairan yang dapat mempertahankannya tanpa minuman selama beberapa hari. Disamping itu, pemberian minum sebelum ASI keluar akan menghambat pengeluaran ASI karena bayi menjadi kenyang dan malas menyusui
Berdasarkan SDKI 2007, jumlah pemberian ASI Ekslusif di indonesia masih rendah yaitu 32% dari total kelahiran bayi. Pada saat yang bersamaan bayi – bayi yang lahir di fasilitas kesehatan lebih cenderung untuk tidak mendapatkan ASI secara ekslusif, hal ini disebabkan sosialisasi inisiasi menyusui dini yang masih minim serta pengetahuan dan kesadaran dari masyarakat arti pentingnya ASI Ekslusif
Menurut Dirjen Gizi dan KIA (2011) masalah utama masih rendahnya penggunaan ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya, kurangnya pengetahuan ibu, keluarga, dan masyarakat akan pentingnya ASI, serta jajaran kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung peningkatan ASI. Masalah ini diperburuk dengan gencarnya promosi susu formula dan kurangnya dukungan dari masyarakat
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup angka ini cukup tinggi di bandingkan negara – negara tetangga di kawasan ASEAN. Sedangkan Angka Kematian bayi (AKB) Dan Angka Kematian Balita (AKABA), perhatian terhadap penurunan angka kematian neonatal (0 – 28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi 4 kontribusi terhadap 59% kematian bayi(5) . Hasil Survey Lembaga Demografi dan kesehatan indonesia (SData menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang dari 1 jam setelah bayi lahir 29,3%, tertinggi di NTT (Nusa Tenggara Timur) 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebahagian besar proses menyusui dilakukan pada kisaran 1-6 jam setelah lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui setelah 48 jam. Pemberian kolostrum cukup baik dilakukan oleh 74,7% ibu kepada bayinya. Pemberian susu formula pada bayi baru lahir di Sulawesi Selatan sebanyak 45,90% dan yang memberikan madu 16,20%DKI) 2013 pemberian ASI Eksklusif meningkat menjadi 42% dibandingkan tahun 2012 sebanyak 32%
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2013 cakupan ASI Eksklusif yaitu sebesar 68,9% dan pada tahu 2014 pencapaian cakupan ASI Eksklusif yaitu sebesar 72,5%. Dilihat dari data bahwa cakupan ASI eksklusif terus meningkat, namun bertentangan dengan keadaan di lapangan ibu yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya masih rendah.
Kabupaten Dharmasraya pada tahun 2014 cakupan ASI eksklusif yaitu sebesar 70,1%. Puskesmas Sungai Dareh cakupan ASI Ekslusif pada tahun 2014 yaitu 66,7% hal ini mengalami peningkatan dari tahun 2013 sebesar 63,5%. Namun cakupan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh masih rendah diantara puskesmas- puskesmas yang ada di Kabupaten Dharmasraya
Besarnya manfaat ASI tidak diimbangi oleh peningkatan perilaku pemberian ASI sehingga bayi tidak mendapatkan ASI dengan baik. Beberapa faktor di duga menjadi penyebab bayi tidak mendapatkan ASI dengan baik salah satunya adalah faktor pengetahuan ibu Keengganan ibu untuk menyusui karena rasa sakit saat 5 menyusui, kelelahan saat menyusui, serta kekhawatiran ibu mengenai perubahan payudara setelah menyusui. Faktor sosial budaya, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan dalam proses menyusui juga sangat berpengaruh terhadap proses pemberian ASI. Kurangnya pendidikan kesehatan mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan produksi ASI turut mempengaruhi pengetahuan ibu primi para yang dapat menyebabkan kurangnya volume ASI (Budiharjo, 2003; Lubis, 2010, hlm. 35).
Tidak semua ibu post partum langsung mengeluarkan ASI karena pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat komplek antara rangsangan mekanik, saraf dan bermacam-macam hormon yang berpengaruh terhadap pengeluaran oksitosin. Pengeluaran hormon oksitosin selain dipengaruh oleh isapan bayi juga dipengaruhi oleh reseptor yang terletak pada sistem duktus, bila duktus melebar atau menjadi lunak maka secara reflektoris dikeluarkan oksitosin oleh hipofise yang berperan untuk memeras air susu dari alveoli oleh karena itu perlu adanya upaya mengeluarkan ASI untuk beberapa ibu post partum. (10) Pengeluaran ASI dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu produksi dan pengeluaran. Produksi ASI dipengaruhi oleh hormon prolaktin sedangkan pengeluaran di pengaruhi oleh hormon oksitosin. Hormon oksitosin akan keluar melalui rangsangan ke puting susu melalui isapan mulut bayi atau melalui pijatan pada tulang belakang ibu bayi, dengan dilakukan pijatan pada tulang belakang ibu akan merasa tenang, rileks, meningkatkan ambang rasa nyeri dan mencintai bayinya, sehingga dengan begitu hormon oksitosin keluar dan ASI pun cepat keluar (WBW, 2007, hlm. 39).
    Pijatan atau rangsangan pada tulang belakang, neuro transmitter akan merangsang medulla oblongata langsung mengirim pesan ke hypothalamus di hypofise posterior untuk mengeluarkan oksitosin sehingga menyebabkan buah dada mengeluarkan air susunya. Pijatan di daerah tulang belakang ini juga akan 6 merileksasi ketegangan dan menghilangkan stress dan dengan begitu hormon oksitosoin keluar dan akan membantu pengeluaran air susu ibu, dibantu dengan isapan bayi pada puting susu pada saat segera setelah bayi lahir dengan keadaan bayi normal (Guyton, 2007, hlm. 45).
   Pijat merupakan salah satu solusi untuk mengatasi ketidaklancaran produksi ASI. Pijat adalah pemijatan pada sepanjang tulang belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima-keenam dan merupakan usaha untuk merangsang hormon prolaktin dan oksitosin setelah melahirkan (Biancuzzo, 2003; Indiyani, 2006; Yohmi & Roesli, 2009). Pijatan ini berfungsi untuk meningkatkan hormon oksitosin yang dapat menenangkan ibu, sehingga ASI pun otomatis keluar. Penelitian yang dilakukan oleh Eko (2011) menunjukkan bahwa kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin dapat meningkatkan produksi ASI.
    Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Kartasura diketahui bahwa 6 dari 10 ibu kebingungan ketika bayi mereka menangis sedangkan ASI yang keluar belum lancar. Mereka masih tampak canggung dalam posisi menyusui. Mereka sempat bertanya mengenai cara agar ASInya banyak. Ibu-ibu tersebut memiliki keinginan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi mereka. Informasi juga didapatkan dari petugas yang mengatakan bahwa sekitar 30% ibu mengeluh bahwa produksi ASI nya kurang lancar. Berdasarkan latar belakang dan hasil pencapaian ASI Ekslusif serta wawancara dari ibu – ibu yang menyusui maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Produksi Asi Pada Ibu Nifas Di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam Penelitian yang akan dilakukan adalah “ Pengaruh
Pijat Oksitosin Terhadap Produksi ASI Pada Ibu Nifas di wilayah Kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya tahun 2016’’.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
    Untuk mengetahui Pengaruh pijat oksitosin terhadap Produksi ASI pada Ibu Nifas di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016
1.3.2 Tujuan Khusus
1.      Untuk mengetahui rerata Produksi ASI sebelum melakukan pijat oksitosin pada Ibu Nifas di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016
2.       Untuk mengetahui rerata produksi ASI pada ibu Nifas sesudah menerima pijat Oksitosin di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016.
3.       Untuk membandingkan produksi ASI pada Ibu Nifas sebelum dan sesudah menerima pijat oksitosin di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016.
1.4 Manfaat Penelitian
1.      Bagi Peneliti Diharapkan dapat menambah pengalaman dalam hal metode penelitian dan menjadi referensi sehingga dapat menambah wawasan
2.       Bagi Institusi Diharapkan dapat menjadi informasi dan bahan masukan bagi puskesmas dan dinas kesehatan serta meningaktkan derajat kesehatan masyarakat.
3.      Bagi Intansi Tersedianya informasi bagi puskesmas sungai dareh tentang Pengaruh pijat oksitosin terhadap Produksi ASI pada Ibu Nifas di wilayah kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Produksi ASI Pada Ibu Nifas di wilayah Kerja Puskesmas Sungai dareh Kabupaten Dharmasraya. Penelitian ini akan dilakukan pada Bulan januari sampai juni 2016 , dimana jenis penelitian ini Kuantitatif dengan menggunakan desain quasi eksperimental pre and post.


BAB II
TINJAUAN KONSEP DAN TEORI
2.1.Konsep Nifas
Masa nifas (puerperium), berasal dari bahasa latin, yaitu puer yang artinya bayi dan parous yang artinyamelahirkan atau berari masa setelah melahirkan. Masa nifas (puerperium) merupakan masa yang berlangsung selama 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil sebagai akibat dari adanya perubahan fisiologi psikologi karena proses kehamilan (Bobak, et al., 2005). Periode pemulihan pascapartum ini berlangsung sekitar 6 minggu atau sekitar 42 hari.
     Rubin (1961, dalam Bobak, et al., 2005) menjelaskan bahwa adaptasi psikologi ibu pada masa nifas terbagi dalam 3 fase yaitu:
1)      Fase menerima (taking in) Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan, ibu masih pasif dan sangat bergantung pada orang lain sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan istirahat dan makanan, fokus perhatian terhadap tubuhnya sendiri. Ibu lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami.
2)       Fase taking hold Terjadi pada hari3-4 setelah persalinan, ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi dan keinginan untuk melakukan segala sesuatu secara mandiri. Pada masa ini, ibu menjadi sangat sensitif dan tidak jarang terjadi depresi. Perasaan mudah tersinggung bisa timbul akibat berbagai factor Secara psikologis, ibu mungkin jenuh dengan banyaknya tanggung jawab sebagai orang tua dan perasaan kehilangan dukungan yang pernah diterima ketika hamil. Selain itu, keletihan setelah melahirkan diperburuk oleh tuntutan bayi yang banyak sehingga dengan mudah dapat timbul perasaan depresi. Ibu membutuhkan bimbingan dan dukungan dari keluarga, petugas kesehatan, dan orang-orang terdekat
3)      Fase letting go Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu mulai secara penuh menyadari tanggung jawab sebagai seorang ibu dan menyadari bahwa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.
2.2.Konsep Laktasi
 Depkes RI (2005) mendefinisikan laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Laktasi merupakan bagian integral dari siklus reproduksi mamalia termasuk manusia.
     Laktasi mempunyai 2 pengertian yaitu pembentukan ASI (refleks prolaktin) dan pengeluaran ASI (reflek oksitosin/let down) (Perinasia, 2011).
a)      Pembentukan ASI (refleks prolaktin) Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan payudara terutama besarnya payudara yang disebabkan oleh adanya proliferasi sel-sel duktus laktiferus dan sel-sel kelenjar pembentukan ASI serta lancarnya peredaran darah Hormon prolaktin merupakan suatu hormon yang disekresi oleh glandula pituitari dan memiliki peranan penting dalam memproduksi ASI. Kerja hormon ini dihambat oleh hormon plasenta. Dengan lepasnya atau keluarnya plasenta pada akhir proses persalinan, maka kadar esterogen dan progesteron berangsur-angsur menurun sampai pada tingkat dimana prolaktin dapat dilepaskan dan diaktifkan. Hormon prolaktin kemudian merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi memproduksi air susu. Kadar prolaktin yang tinggi dipertahankan melalui efek menyusui, dan sekresi air susu yang banyak sekali muladan tampak secara klinis dua hingga tiga hari pascapartum. Menyusui melalui stimulasi puting susu memberi stimulasi terhadap pelepasan prolaktin. Tanpa stimulasi puting susu, kadar prolaktin menurun sampai pada kadar wanita tidak hamil. Dalam payudara, juga terdapat mekanisme lokal pengendalian air susu. Contohnya, pengeluaran air susu menstimulasi sintesis air susu dan jika air susu tidak dikeluarkna, sekresi berhenti selama periode beberapa hari. Kecepatan sintesis air susu dan banyaknya air susu yang diproduksi dapat bervariasi pada tiap payudara menurut frekuensi menyusui dan banyaknya air susu yang dikeluarkan. Pada ibu menyusui prolaktin akan meningkat dalam keadaan-keadaan seperti:
a) Stress atau pengaruh psikis,
 b)Anestesi,
 c) Operasi,
d) Rangsangan puting susu,
e) Hubungan kelamin, dan
f) Obat-obatan trangulizer hipotalamus seperti reserpin, klorpromazim, dan fenotiazid.pada payudara. Proses proliferasi ini dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh plasenta, yaitu prolaktin, esterogen dan progesterone
b)      Pengeluaran ASI (Refleks oksitosin/let down reflex/milk ejection reflex) Proses pelepasan ASI atau sering disebut sebagai refleks letdown berada dibawah kendali neouroendokrin. Rangsangan sentuhan pada payudara (hisapan bayi) akan merangsang produksi oksitosin oleh kelenjar hiposfisis posterior. Oksitosin memasuki darah dan menyebabkan kontraksi sel-sel myoepithel yang mengelilingi alveolus mamae dan duktus lactiferous. Kontraksi sel-sel myoepithel ini mendorong ASI keluar dari alveoli melalui duktus lactiferous menuju sinus lactiferous, tempat ASI disimpan. Pada saat bayi menghisap, ASI didalam sinus tertekan keluar, masuk kedalam mulut bayi. Beberapa tanda adanya refleks oksitosin menurut Depkes RI (2005) adalah:

a.       Rasa diperas atau tingling pada payudara sebelum dan selama menyusui,
b.       ASI keluar bila ibu memikirkan bayinya dan mendengar tangisannya,
c.        ASI menetes pada payudara yang lain bila bayi menyusui,
d.       Rasa sakit karena kontraksi rahim, kadang-kadang disertai keluarnya darah, waktu menyusui, dan
e.        Isapan pelan dan dalam serta menelan menunjukkan ASI mengalir kedalam mulut bayi.


Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) mengatakan bahwa hal-hal yang dapat meningkatkan produksi oksitosin, antara lain

a)      Ibu dalam keadaan tenang,
b)       Mencium dan mendengarkan celotehan bayi dan tangisannya,
c)      Melihat dan memikirkan bayinya dengan perasaan kasih sayang,
d)     Memikirkan untuk menyusui bayi,
e)      Ayah menggendong bayi dan diberikan kepada saat akan menyusui,
f)        Ayah menggantikan popok dan memandikan bayi,
g)       Ayah bermain, menggendong, mendendangkan nyanyian, dan membantu pekerjaan rumah tangga,
h)      Ayah memijat bayi.
Sementara itu, hal-hal yang dapat mengurangi produksi oksitosin, antara lain: 

a.       Ibu merasa takut jika menyusui dan merusak bentuk payudara,
b.       Ibu merasa khawatir produksi ASI-nya tidak cukup,
c.       Ibu merasa kesakitan, terutama saat menyusui,
d.       Ibu merasa sedih, cemas, kesal, dan bingung, e) Ibu merasa malu untuk menyusui,
e.        Ibu merasa kelelahan, dan
f.       Suami atau keluarga kurang mendukung dan tidak mengerti ASI.

                                                                         Gambar 2.1 Refleks Oksitosin
2.3.Pijat oksitosin
 Salah satu cara yang dilakukan untuk mempelancar produksi ASI adalah dengan pijat oksitosin. Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang belakang mulai dari costa ke 5-6 sampai scapula atau tulang belikat akan mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan perintah ke hipofisis posterior untuk mengeluarkan hormon oksitosin (Suherni, 2010; Hamranani, 2010). Pijat oksitosin dilakukan untuk merangsang refleks oksitosin atau refleks let down dan bisa dilakukan dengan bantuan keluarga terlebih suami. Secara umum, Pace (2001) mengatakan bahwa pijat secara signifikan dapat mempengaruhi system saraf perifer, meningkatkan rangsangan dan konduksi impuls saraf, melemahkan dan menghentikan rasa sakit serta meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ serta membuat otot menjadi fleksibel sehingga merasa nyaman dan rileks. Oleh karena itu, setelah dilakukan pijat oksitosin ini diharapkan ibu akan merasa rileks sehingga ibu tidak mengalami kondisi stress yang bisa menghambat refleks oksitosin.
Langkah-langkah pijat oksitosin menurut Depkes (2007) adalah sebagai berikut: 
a.       Posisikan ibu dalam keadaan nyaman
b.      Meminta ibu untuk melepaskan baju bagian atas
c.        Ibu miring kekanan atau kekiri dan memeluk bantal atau ibu duduk dikursi, kemudian kepala ditundukkan/ meletakkan diatas lengan.
d.      Petugas kesehatan memasang handuk dipangkuan ibu
e.       Petugas kesehatan melumuri kedua telapak tangan dengan minyak zaitun atau baby oil     
f.        Kemudian melakukan pijatan sepanjang kedua sisi tulang belakang ibu dengan menggunakan dua kepalan tangan dengan ibu jari menunjuk kedepan
g.      Menekan kuat-kuat kedua sisi tulang belakang membentuk gerakangerakan melingkar kecil-kecil dengan kedua ibu jari
h.       Pada saat yang bersamaan, memijat kedua sisi tulang belakang ke arah bawah, dari leher ke arah tulang belikat, selama 2-3 menit
i.         Mengulangi pemijatan hingga 3 kali
j.         Membersihkan punggung ibu dengan waslap yang sudah dibasahi air


Gambar 2.2 Pijat Oksitosin
 Sumber : Depkes RI, 2007



2.4.Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pijat oksitosin pada ibu nifas
 Keberhasilan pijat oksitosin tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian Purnama (2013) mengatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan pijat oksitosin terhadap pengeluaran ASI adalah sebagai berikut:
1.       Faktor psikologi
Persiapan psikologis ibu sangat menentukan keberhasilan menyusui (IDAI, 2008). Stress, khawatir, ketidakbahagiaan pada periode menyusui sangat berperan dalam mensukseskan pemberian ASI. Faktor-faktor ini akan diperkirakan dapat meningkatkan kadar epinefrin dan neroepinefrin yang selanjutnya akan menghambat transportasi oksitosin ke dalam payudara. Ada beberapa jenis stres yang umum dialami oleh ibu menyusui. Dari mulai khawatir akan kurangnya kuantitas produksi ASI, khawatir kualitas ASInya tidak cukup baik untuk sang bayi, takut bentuk tubuh atau payudaranya berubah, perubahan pola/gaya hidup (terutama bagi ibu yang menyusui anak pertama), merasa pemberian ASI kurang praktis bagi ibu yang bekerja, dan stres akibat kurangnya dukungan suami terhadap pemberian ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi. Derek (2005) juga mengatakan bahwa produksi ASI ibu sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan. Ibu yang selalu dalam keadaan gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan, ketakutan, pengunjung yang tidak simpatik dan berbagai bentuk ketegangan emosional, akan mengakibatkan ibu gagal dalam menyusui bayinya karena kondisi ini dapat menghambat pengeluaran hormon oksitosin sehingga mencegah masuknya ASI Universitas Sumatera Utara 14 ke dalam pembuluh payudara. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Perinasia (2011) yang mengatakan bahwa produksi ASI sangat dipengaruhi oleh kejiwaan, ibu yang selalu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan produksi ASI berhenti sama sekali
2.       Faktor kenyamanan ibu
 Umumnya, ibu akan mengalami gangguan rasa nyaman segera setelah memasuki masa nifas. Bagi ibu yang menyusui gangguan rasa nyaman biasanya adalah rasa nyeri karena puting lecet yang disebabkan oleh posisi menyusui dan perlekatan bayi yang tidak tepat dan payudara bengkak yang disebabkan oleh air susu yang melimpah tidak keluar. Puting lecet dan payudara bengkak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengeluaran ASI. Ibu sering berhenti menyusui karena kondisi ketidaknyamanan yang ibu rasakan (Purnama, 2013). Rangsangan isapan bayi akan berkurang karena ibu berhenti menyusui sehingga pengeluaran ASI juga akan menurun (Suradi, 2004).
3.                   Pelaksanaan Pijat Oksitosin
 Pijat oksitosin dilakukan di sepanjang kedua sisi tulang belakang ke arah bawah, dari leher kearah tulang belikat. Pijatan dilakukan dengan menekan kuat-kuat ke dua sisi tulang belakang menggunakan kepalan tangan dengan ibu jari menunjuk ke depan dan membentuk gerakan melingkar kecil-kecil dengan kedua ibu jari. Frekuensi dilakukannya pijat oksitosin juga dapat mempengaruhi hasil pengeluaran ASI. Menurut Hockenberry (2002, dalam Universitas Sumatera Utara 15 Purnama, 2013) menyatakan bahwa produksi ASI dengan menggunakan pijat oksitosin dan perawatan payudara lebih efektif apabila dilakukan sehari 2 kali, pagi dan sore. Pijat oksitosin bisa dilakukan dengan bantuan keluarga terlebih suami.
4. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga (suami dan orang tua) sangat diperlukan untuk ketentraman ibu menyusui, selain itu nasehat dari mereka yang lebih berpengalaman akan membantu keberhasilan menyusui (Depkes RI, 2005). Seorang ayah dan lingkungan yang mengelilingi ibu sangat menentukan keberhasilan menyusui. Bahkan proses pemberian ASI itu sendiri memiliki aspek psikologis dan rohaniah antara ibu, bayi, dan seorang ayah, bukan hanya sekedar tempel dan biarkan menyusui saja (IDAI, 2008). Seorang suami mempunyai peran yang sangat baik dalam membantu ibu mencapai keberhasilan menyusui bayinya. Suami dan keluarga memiliki peran penting dalam menciptakan ketenangan, kenyamanan dan kasih sayang. Kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenangan yang dirasakan ibu akan meningkatkan produksi hormon oksitosin sehingga ASI dapat mengalir dengan lancar (Permenegpp RI, 2010)
5.Dukungan petugas kesehatan
 Dukungan petugas kesehatan sangat diperlukan untuk memandirikan dan memberdayakan ibu dan keluarga dirumah. Petugas kesehatan dalam hal ini perawat atau bidan memberikan informasi mengenai tentang pijat oksitosin dan melakukan pijat oksitosin. Selain itu, petugas kesehatan juga perlu memotivasi Universitas Sumatera Utara 16 ibu untuk melakukan pijat oksitosin secara mandiri .Petugas kesehatan dapat memberikan dukungan pada ibu dengan cara berkomunikasi, memberikan saran, dorongan dan penyuluhan untuk memfasilitasi kemampuan ibu dalam memberikan ASI (Purnama, 2013). Selain itu, motivasi dari petugas kesehatan juga bisa meningkatkan kepercayaan diri ibu, sehingga ibu bisa memiliki dorongan untuk melakukan pijat oksitosin dirumah (Tiok, 2008).



 2.5 Hasil Jurnal Penelitian Pijat Oksitosin
Menurut Eli Rahmawati Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kaltim
Tabel 1 menunjukkan perbandingan karakteristik responden pada kelompok intervensi dan kontrol berdasarkan umur. Berdasarkan umur rata-rata  pada 30,23 tahun (95% CI: 27,37-33,89) dengan umur termuda 19 tahun dan tertua 42 tahun. Pada kelompok kontrol ratarata inu nifas normal adalah 30,65 tahun (95% CI: 28,76-34,11) dengan umur termuda 21 tahun dan tertua 40 tahun. p value dari hasil uji t pada Tabel 1. Karakteristik Subyek penelitian pada kelompok intervensi  dan kontrol berdasarkan umur responden.
Kelompok
Mean
SD
Minimal-Maksimal
95% CI
P value
Intervensi Kontrol
30,23 30,65
5,482 5,657
19-42
21-40
27,37-33,89 28,76-34,11
0,581
Kelompok umur menunjukan nilai 0,581 yang berarti p value lebih besar dari nilai alpha (alpha=0,05) kesimpulan tidak ada perbedaan dari kelompok intervensi dan kontrol. Sehingga antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah homogen berdasarkan umur.
Tabel 2 terlihat bahwa kelompok paritas responden yang melahirkan primipara pada kelompok intervensi sebanyak 14 (58.3%) orang, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak sebanyak 10 (41.6%) orang. Sementara ibu yang multipara pada kelompok intervensi sebanyak 11 (45.8%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 13 (54.2%) serta diketahui p value > dari 0,05% yang berarti kedua kelompok homogen. 
Berdasarkan pendidikan sebagian besar ibu postpartum memiliki pendidikan rendah pada kelompok intervensi sebanyak 13 (54.2%) dan berpendidikan tinggi sebanyak 11(45.8%) sedangkan kelompok kontrol ibu yang berpendidikan rendah sebanyak  9 (37.5%) dan yang berpendidikan tinggi sebanyak 15 (62.5%) orang.
Jika dilihat dari distribusi responden berdasarkan paritas dan pendidikan nampak bahwa p value masing-masing variabel < 0.05 ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok intervensi dan kontrol jika dilihat dari tingkat pendidikan dan paritas, yang berarti bahwa kedua kelompok adalah homogen.
Hasil analisis hubungan pijat oksitosin terhadap produksi ASI pada ibu postpartum normal pada pengukuran hari I pada kelompok ibu yang mendapatkan intervensi pijat oksitoksin diperoleh sebanyak 16 (69.6%) ibu yang pengeluaran
 Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan paritas dan pendidikan pada kelompok intervensi dan kontrol
variabel
kelompok
value
Intervensi (12)
Kontrol (12)
 Paritas Primipara
14 (58.3%)
10 (41.6%)
0,511
Paritas Multipara
11 (45.8%)
13 (54.2%)

Pendidikan Rendah
13 (54.2%)
11(45.8%)
0,645
Pendidikan Tinggi
 9 (37.5%)
 15(62.5%)


ASInya lancar dan 7 (30.4%) orang kelompok kontrol yaitu ibu post- ibu postpartum yang pengeluaran ASInya tidak lancar. Dan pada partum normal yang tidak mendapatkan pijat oksitoksin didapatkan sebanyak 9 (39.1%) orang ibu postpartum yang pengeluaran ASInya lancar dan 14 (60.9%) yang pengeluaran ASInya tidak lancar. Hasil uji statistik diperoleh p value 0.042 yang artinya ada perbedaan pengeluaran ASI antara kelompok ibu yang mendapat pijat oksitoksin dengan ibu yang tidak dipijat oksitoksin. Dari hasil nilai OR (95% CI) diperoleh angka sebesar 3.552 (1.217-12.128) yang bermakna bahwa ibu postpartum normal yang mendapat pijat oksitoksin berpeluang memiliki pengeluaran ASI yang lan-car sebanyak 3.552 kali diban-dingkan kelompok ibu postpartum kontrol. hari ke II pada kelompok intervensi ditemukan 19 (82.6%) orang ibu pengeluaran ASInya lancar dan 4 (17.4%) ibu yang pengeluaran ASInya tidak lancar. Sementara pada kelompok kontrol didapatkan hasil bahwa 10 (43.5%) ibu pengeluaran ASInya lancar sementara sisanya 13(56.5%) ibu pengeluaran ASInya tidak lancar. Hasil uji statistik p value 0.012 yang berarti ada perbedaan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Dari hasil nilai OR (95% CI) diperoleh angka sebesar 5.710 (1.691-19.532) yang bermakna bahwa ibu postpartum normal pada hari II yang mendapat pijat oksitoksin berpeluang memiliki pengeluaran ASI yang lancar sebanyak 5.710 kali dibandingkan pengeluaran ASI kelompok ibu postpartum normal yang tidak dilakukan pijat oksitoksin.
 Tabel 3. Hubungan pijat oksitosin dengan pengeluaran ASI pada ibu postpartum normal pada hari I dan II pada kelompok intervensi dan kontrol  di BPM Hj. NL tahun 2013.
Pengukuran Hari ke
Kelompok
 Pengeluaran ASI
OR  
P value
Lancar
Tidak
95% CI



n
%
n
%


I
Intervensi kontrol
17
69,6
7
30,4
3.552
0,042
9
39,1
15
60,9
(1.217-12.128)

II
Intervensi Kontrol
19
82,6
5
17,4
5.710
0,012
10
43,5
14
56,5
(1.691-19.532)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardiyaningsih di wilayah Jawa Tengah pada tahun 2010. Pada analisa data menggunakan chi square terhadap ibu postpartum sectio sesaria dengan pemberian intervensi kombinasi teknik Marmet dan pijat oksitoksin  dengan jumlah sampel sebanyak 27,  sebanyak 22 (81.5%) ibu produksi ASInya lancar sementara terdapat 11 (40.7%) saja pada ibu kelompok kontrol yang produksi ASInya lancar. Pada analisa data terlihat nilai p value 0.005 dan OR 6.400 (CI 1.85622.068) sehingga dapat dikatakan bahwa ibu post SC yang diberikan intervensi kombinasi teknik marmet dan pijat oksitoksin berpeluang 6 kali lebih besar memiliki produksi ASI lancar dibandingkan kelompok kontrol.
Demikian pula yang ditunjukkan pada penelitian tentang pijat oksitoksin untuk mempercepat pengeluaran ASI yang dilakukan Ummah di Gresik dengan rancangan penelitian Randomised Control Trial dengan menggunakan teknik sampling secara exhausive dengan menggunakan uji independent sample test dengan hasil p value 0.000 (p<0.005).
Sebenarnya, laktasi melibatkan proses produksi dan pengeluaran ASI. Produksi ASI sudah dimulai sejak kehamilan, dan pengeluaran ASI masih dihambat selama masa kehamilan. Segera setelah bayi dan placenta lahir, estrogen dan progesterone turun drastis sehingga kerja prolaktin dan okstosin akan maksimal sehingga pengeluaran dan pengeluaran ASI akan lancar. Tidak keluarnya ASI tidak semata karena produksi ASI tidak ada atau tidak mencukupi, tetapi sering kali produksi ASI cukup namun pengeluarannya yang dihambat akibat hambatan sekresi oksitosin. Pace. B (2001)  menyatakan bahwa pijat secara signifikan dapat mempengaruhi system saraf perifer, meningkatkan rangsangan dan konduksi impuls saraf, melemahkan dan menghentikan rasa sakit serta meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ. Disamping itu membuat otot menjadi fleksibel dan memberikan efek terapi dan santai sehingga merasa nyaman dan rileks. Pijat oksitosin ini dilakukan untuk merangsang refleks oksitosin atau refleks let down, dilakukan dengan cara memijat pada daerah punggung sepanjang kedua sisi tulang belakang sehingga diharapkan dengan dilakukan pemijatan ini, ibu akan merasa rileks dan kelelahan setelah melahirkan akan hilang. Jika ibu rileks dan tidak kelelahan setelah melahirkan dapat membantu merangsang pengeluaran hormon oksitosin (Depkes RI, 2007).


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
                  Masa nifas adalah masa sesudah melahirkan terhitung dari setelah persalinan sampai pemulihannya dan alat kandungannya seperti keadaan sebelum hamil yang lamanya 6 minggu Salah satu cara yang dilakukan untuk mempelancar produksi ASI adalah dengan pijat oksitosin. Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang belakang mulai dari costa ke 5-6 sampai scapula atau tulang belikat akan mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan perintah ke hipofisis posterior untuk mengeluarkan hormon oksitosin (Suherni, 2010; Hamranani, 2010)..



DAFTAR  PUSTAKA

    Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta:Mitra Cendikia
  Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika
  Suherni, 2007. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya



Disusun Oleh Lili Suryani 



Terimakasih Kepada Dosen Pengampu Zaidir, ST., MCs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar