MANAGEMEN NYERI
Nyeri merupakan keluhan yang paling umum dan sering ditemukan pada
pasien yang datang ke pelayanan kesehatan, nyeri sangat penting sebagai
mekanisme proteksi tubuh yang timbul bilamana jaringan sedang rusak dan
menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri. Perawat
sebagai bagian dari provider kesehatan harus mampu mengenali
dan memberikan intervensi yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.
1.
Pengertian
Mendefinisikan nyeri secara tepat merupakan hal yang sulit mengingat
nyeri merupakan keluhan yang subjektif, hanya penderita yang mampu
mendefinisikan nyeri yang dialami, dan kemungkinan akan sangat berbeda
dengan nyeri yang dialami oleh penderita yang lain walaupun
merupakan hal yang sangat mungkin nyeri itu di sebabkan oleh stimulus yang
sama. Rasa nyeri selalu merupakan sesuatu yang
bersifat subjektif, setiap individu mempelajari nyeri melalui
pengalaman yang berhubungan langsung dengan luka (injury), yang terjadi pada
masa awal kehidupannya.
Ada beberapa definisi yang bisa menggambarkan nyeri sebagai berikut :
a.
Menurut Corwin (1999) Nyeri adalah sensasi
subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau potensial
b.
Taylor (2001) nyeri juga dapat disebabkan
stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri
c.
Ketika suatu jaringan
mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang
dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri
(Kozier dkk)
d.
Pada tahun 1979,
International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai :
Suatu pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan
kerusakan jaringan
e.
Secara klinis, nyeri adalah
apapun yang diungkapkan oleh pasien mengonai sesuatu yang dirasakannya sebagai
suatu hal yang tidak menyenangkan / sangat mengganggu (Dharmady & Triyanto)
f.
Defenisi keperawatan
menyatakan bahwa nyeri sebagai apapun yang menyakitkan tubuh yang
dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya
g.
Beberapa pasien tidak dapat
atau tidak akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Oleh
karena itu, perawat juga bertanggung jawab terhadap pengamatan perilaku
nonverbal yang dapat terjadi bersama dengan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
2.
Jenis Nyeri
Berdasarkan mekanisme nyeri, nyeri dapat diklasifikasikan
dalam 3 jenis :
a.
Nyeri fisiologis
Terjadi karena stimulus singkat
yang tidak merusak jaringan, misalnya cubitan ringan, pukulan ringan akan
menyebabkan munculnya rasa nyeri yang ringan
b.
Nyeri inflamasi
Terjadi karena stimulus yang
kuat sehingga merusak jaringan, kemudian jaringan akan mengalami inflamasi/
peradangan, dan direspon dengan mengeluarkan mediator inflamasi oleh tubuh
seperti bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat
mengaktifasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi
perubahan komponen nosiseptik, mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptik,
aktifasi nosiseptik akan menyebabkan nyeri sedangkan sensitisasi akan
menyebabkan hiperalgesia
c.
Nyeri neuropatik
Merupakan nyeri yang
di dahului dan disebabkan adanya disfungsi primer atau lesi pada sistem saraf
yang diakibatkan oleh trauma, kompresi, keracunan atau gangguan metabolik.
Akibat adanya lesi maka terjadi perubahan pada serabut saraf aferent (SSA) yang
berfungsi sebagai neuron sensorik perifer yang kemudian bisa menyebabkan
gangguan fungsi sentral.
Berdasarkan munculnya nyeri :
IASP (The international Association for the Study of Pain) membedakan
nyeri menjadi nyeri akut dan nyeri kronis :
a. Nyeri akut
Nyeri yang berlangsung
sementara, kemudian mereda bila terjadi penuruan intensitas stimulus pada
nosiseptor pada beberapa hari sampai beberapa minggu. Menurut
Long C.B (1996) nyeri akut, nyeri yang berlangsung tidak
melebihi enam bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan
daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan
otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi nyeri.
b. Nyeri kronis
Nyeri yang berhubungan dengan
kondisi patologis, berlangsung dalam waktu yang lama, biasanya
merupakan suatu proses penyakit, berlangsung terus – menerus atau menetap
setelah penyembuhan penyakit atau trauma, biasanya tidak terlokalisir secara
jelas. Nyeri kronis, nyeri yang berlangsung enam
bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditentukan
lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap (Long, 1996).
Berdasarkan klasifikasi nyeri wajah
Nyeri pada wajah atau rongga mulut diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Nyeri somatik
Nyeri yang disebabkan karena
stimulasi reseptor neural atau saraf-saraf perifer
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang dihasilkan dalam
sistem saraf sendiri, reseptor saraf maupun stimulasi serabut saraf
c. Nyeri psikogenik
Nyeri yang dapat memunculkan
intensifikasi nyeri somatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi
psikoneurotik, karakteristiknya lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan
dengan suatu penyebab yang mungkin, tanda klinis atau respon pengobatan.
Corwin
J.E (1997) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi :
a. Nyeri
kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya
nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet, lokalisasi nyeri jelas disuatu
dermatum
b. Nyeri
somatik adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot
rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf dalam, sifat nyeri lambat
c. Nyeri
Viseral, adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi jelas disuatu
titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan biasanya parah
d. Nyeri
Psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa diketahui adanya
temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229)
e. Nyeri
Phantom limb pain, adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu
ekstremitas yang telah diamputasi (Long, 1996 ; 229).
3.
Fisiologi Nyeri
Ganong, (1998),
mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang disalurkan ke susunan
syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem serat (serabut) antara lain:
a.
Serabut A – delta (Aδ), bermielin
dengan garis tengah 2 – 8 µm yang menghantar
dengan kecepatan 12 – 48 m/detik yang disebut juga nyeri cepat
(test pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari satu detik, serta memiliki
lokalisasi yang dijelas dirasakan seperti ditusuk, tajam berada dekat permukaan
kulit.
b.
Serabut C, merupakan
serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4 –1,2 µm dengan kecepatan hantaran
0,7-1,5 m/detik disebut juga nyeri lambat di rasakan
selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat nyeri tumpul, berdenyut atau
terbakar.
c.
Transmisi nyeri dibawah
oleh serabut A – delta maupun serabut C diteruskan ke korda spinalis, serabut –
serabut syaraf aferen masuk kedalam spinal lewat dorsal “root” dan sinap dorsal
“ horn” yang terdiri dari lapisan (laminae) yang saling berkaitan II dan III
membentuk daerah substansia gelatinosa (SG). Substansi P sebagai
nurotransmitter utama dari impuls nyeri dilepas oleh sinaps dari substansia
gelatinosa. Impuls – impuls nyeri menyebrang sum – sum tulang belakang
diteruskan ke jalur spinalis asendens yang utama adalah spinothalamic
tract (STT)
atau spinothalamus dan spinoroticuler tract (SRT)
yang menunjukkan sistem diskriminatif dan membawa informasi mengenai sital dan
lokasi dari stimulus ke talamus kemudian kemudian diteruskan ke korteks untuk
diinterprestasikan, sedangkan impuls yangg melewati SRT, diteruskan ke batang
otak mengaktifkan respon outonomik dari limbik (motivational affektive)
effective yang dimotivasi (Long).
4.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Respon Nyeri
Saat seseorang mengalami
nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan cara
mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau
menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan mempengaruhi
reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang
terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan.
Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri yang sama, atau dengan kata
lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi
pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi
mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu,
sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Ketika sesuatu
menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk
kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat menahan nyeri sebelum
memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun
dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur.
Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis,
kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke).
5.
Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
a.
Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang
dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan
diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit
mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri
tersebut menjadi lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu
tersebut mencrima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu
dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri
dan pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare).
Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri
hebat, tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti.
Umumnya, orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung
mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).
b.
Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat
ditoleransi lagi, beragam diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat
keletihan, kecemasan, ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi
sosial, perubahan dalarn identitas peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan
masa lalu (Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri
diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas
nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu
dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah
dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan
pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima
banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur
operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi
lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le
Mone).
Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan
yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien
terhadap nyeri (Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.
Secara klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin.
Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri
pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi
nyeri (Le Mone & Burke).
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter
yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam
sistem analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla
spinalis mensekresi enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan .
Jadi,dpresinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A
sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke
medulla spinalis (Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare,).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare,).
c.
Umur
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen
alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh
petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa
muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua
mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi
sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit
kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan,
kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf
normal (Le Mone & Burke).
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi
terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena
individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh
terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh
karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada
lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari
perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes),
akan tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak
berubah (Smeltzer & Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai
sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia
cenderung mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan
kesehatan karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari
penuaan normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan
karena mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian
tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri
pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).
d.
Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex)
merupakan perbedaan yang telah dikodratkan Tuhan, olch sebab itu, bersifat
permanen. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat
biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial kultural. Perbedaan secara sosial
kultural antara laki-laki dan perempuan merupakan dampak dari sebuah proses
yang membentuk berbagai karakter sifat gender. Perbedaan gender antara manusia
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat
panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai
faktor terutarna pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi
baik secara sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar
& Anshari).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan
sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai
penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan
berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin
tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang
secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang
berbeda dapat belajar dengan cepat untuk mengabaikan nyeri daripada
mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota
keluarga. Anak-anak mungkin belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dalam mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah
sambil menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu
untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin
berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri
(Taylor & Le Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang
dominan. Dalam budaya yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan
untuk anggota keluarga lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya
dimana laki-laki merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif.
Dalam keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering
menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan
sangat penting sebagai bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika
anggota keluarga dominan yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan
menjadi cemas dan bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka
ia akan meminta pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian
tentang nyeri pada wanita dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik.
Meskipun penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada
perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan
laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri
(Taylor & Le Mone).
e.
Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar
sikap, perilaku, dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya
mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang
dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor
& Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan
etniksitas mempunyai pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri
(bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap
nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer
& Bare). Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan
memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya
membantu kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada
harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya
akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif
dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).
f.
Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan
penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu
individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan
kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya;
karena akan mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).
g.
Lingkungan dan Dukungan
Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga
dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan
pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang
sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah nyeri yang
dirasakan. Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau
teman bisa mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka
menyendiri ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk
rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le
Mone).
6.
Prinsip Pengelolaan Nyeri
a.
Farmakologis
Penggunaan agen-agen analgetik
(antirasa sakit)
b.
Non Farmakologis
Intervensi nonfarmakologis
yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri kelebihan metode
pereda nyeri nonfarmakologis adalah resiko
yang sangat rendah.
Berikut ini beberapa metode nonfarmakologis untuk
penanganan nyeri :
a.
Stimulasi dan Masase
Kutanus
Prinsip dasarnya adalah
implementasi terori gate control, tujuan adalah menstimulasi
serabut-serabut yang menstransmisikan sensasi tidak nyeri sehingga memblok
atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilang misalanya menggosok
kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan mekanisme
ini. Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang
sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem
control desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase
membuat relaksasi otot.
b.
Terapi Es dan Panas
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi
pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya
dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es
dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-noniseptor)
dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.Terapi es dapat memnurunkan
prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain [ada
tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus
diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi. Cohn dkk. (1989)
menunjukkan bahwa saat es diletakkan disekitar lutut segara setelah pembedahan
dan selama 4 hari pasca operasi, kebutuhan anlgesik menurun sekitar 50%
c.
Penggunaan panas
Penggunaan panas mempunyai
keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun demikian, menggunakan panas
kering dengan lampu pemanas tampak tidak seefektif penggunaan es (Nam &
Park, 1991). Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia
tetapi penelitian tambahan diperlukan untuk memehami mekanisme kerjanya dan
indikasi penggunaannya yang sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan
dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit
d.
Stimulasi Saraf Elektris
Transkutan
Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit
yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk
menghasilkan sensasi kesemutan , menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS
telah digunakan baik pada nyeri akaut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan
nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang
sama seperti pada serabut yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai
dengan teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi
sinyal nyeri ke otak pada jaras asendens saraf pusat. Mekanisme ini akan
menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan pada araea yang asama
seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca
operatif elektroda diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk
keefektifan TENS adalah efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan
pembentukan endorphin, yamhjuga memblok transmisi nyeri
e.
Distraksi
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian
pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat
berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung
jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk.,
1990). Seseorang,
yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada
nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri.
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi
sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien
untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri
secara umum meningkat dalam hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu,
banyaknya modalitas sensori yang dipakai dan minat individu dalam stimuli.
Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif
dalam menurunkan nyeri dibanding stimuli satu indera saja.
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan
monoton sampai menggunakan aktivitas fisik an mental yang sangat kompleks.
Kunjungan dari keluarga dan teman-teman sangat
efektif dalam meredakan nyeri. Melihat film layar lebar dengan ”surround
sound” melalui headphone dapat efektif (berikan yang dapat diterima oleh
pasien). Orang lainnya mungkin akan mendapat peredaan permainan dan aktivitas
yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien mencapai peredaan melalui
distraksi, terutama mereka yang dalam nyeri hebat, pasien mungkin tidak dapat
berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas fisik atau mental
yang kompleks.
f.
Teknik Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan
nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti
yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner
dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian, bagaimanapun, telah
menunjukkan bahwa relaksasi ecektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi
(Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990). Ini mungkin karena relatif kecilnya
otot-otot skeletal dalam nyeri pasca operatif atau kebutuhan pasien untuk
melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin
dipraktekkan jika hanya diajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang
sudah mengetahui tentang teknik relaksasi mungkin hanya diingatkan untuk
menggunakan teknik tersebut untuk menurunkan atau mencegah menigkatnya nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas
abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan
bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat diprtahankan
dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (” hirup, dua,
tiga ”) dan ekhalasi (hembusakan, dua, tiga). Pada saat perawat mengajarkan
teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien
oada awalanya. Napas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik
distraksi. Teknik relaksasi, juga tindakan pereda nyeri noninvasif lainnya,
mungkin memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunkannya.Hampir
semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode-metode
relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan
keletihan dan ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang
meningkatkan nyeri.
g.
Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi
seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek
positf tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan
meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan suatu napas berirama lambat
denfgan suatu bayangan mental relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam,
individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi
secara lambat ketegangan otot dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh
yang rileks dan nyaman. Setip kali menghirup napas, pasien harus membayangkan
energi penyembuh dialairkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di
hembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang
dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan. Jika imajinasi terpadu
diharapkan agar efektif, dibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan
tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta
untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali
sehari. Bebrapa hari praktik mungkin dierlukan sebelum intensitas nyeri
dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing
saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam
berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi
terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing
harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang telah
terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini
efektif.
h.
Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri
atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan
kronis. Tahap
hypnosis sebagai terapi terdiri dari tahap pra induksi, induksi,
deepening, sugesti terapi dan alerting/ awakening. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa hypnosis efektif digunakan sebagai terapi untuk mengurangi
nyeri, keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan
hipnotik individu. Pada beberapa kasus hipnosis dapat efekatif pada pengobatan
pertama; keefektifannya meningkat dengan tambahan sesi hypnoterapi berikutnya.
(Lewis,1992).Hypnosis sebagai terapi untuk nyeri harus dilakukan oleh orang yang
terlatih secara khusus.
Prinsip
pengelolaan nyeri non farmakologi dan farmakologi.
1. Massage
Menurut
Nurul (2012),
massage merupakan teknik
reduksi nyeri dengan mengalihkan perhatian kepada hal lain sehingga kesadaran
terhadap nyerinya berkurang atau pengurutan dan pemijatan yang menstimulasi
sirkulasi darah serta metabolisme dalam jaringan.
Langkah-langkah massage:
Tujuan
a.
Mengurangi ketegangan otot
b.
Meningkatkan relaksasi fisik dan
psikologi
c.
Mengkaji kondisi kulit
d.
Meningkatkan sirkulasi/peredaran darah
pada area yang dimasase
Persiapan
Alat
a.
Pelumas (minyak hangat/lotion)
b.
Handuk
Prosedur
pelaksanaan
a.
Siapkan alat-alat yang dibutuhkan
b.
Identifikasi klien
c.
Jelaskan tujuan dan prosedur
d.
Cuci tangan
e.
Atur klien dalam posisi telungkup. Jika
tidak bisa, dapat diatur dengan posisi miring
f.
Letakkan Sebuah bantal kecil di bawah
perut klien untuk menjaga posisi yang tepat
g.
Tuangkan sedikit lotion ke tangan. Usap
kedua tangan sehingga lotion rata pada permukaan tangan
h.
Lakukan masase pada punggung. Masase
dilakuka dengan menggunakan jari-jari dan telapak tangan, dan tekanan yang
halus
Metode
masase :
a.
Selang-seling tangan
b.
Masase punggung dengan tekanan pendek,
cepat, bergantian tangan
2. Terapi Panas Dingin
Menurut Ambarwati (2010), terapi panas dingin merupakan teknik
reduksi nyeri dengan melakukan stimulasi pada kulit untuk menghilangkan nyeri.
a. Kompres Panas
Menurut Ambarwati (2010), merupakan tindakan dengan memberikan kompres panas
basah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman. Tindakan ini dapat
dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri, resiko terjadi infeksi luka, dan
kerusakan fisik (mobilitas) tetapi kompres panas basah digunakan pada permukaan
jaringan yang tertutup (bengkak) tidak memerlukan prinsip steril.
Tujuan
1. Memperbaiki sirkulasi
2. Menghilangkan edema
3. Meningkatkan drainase Pus
4. Mengurangi rasa nyeri
Alat & Bahan
1. Larutan hangat dengan suhu 43-46 derajat celcius
2. Kasa steril
3. Sarung tangan steril
4. Mangkuk kecil
5. Verban
Prosedur Kerja
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2. Cuci tangan
3. Gunakan sarung tangan
4. Basahi kasa steril dengan larutan hangat pada mangkuk
kecil lalu peras
5. Tempatkan perasan kasa tersebut pada daerah luka
6. Tutup kasa yang basah dengan kasa kering
7. Kemudian tutup dengan balutan atau di plester
8. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
9. Catat keadaan luka, drainase, warna, integritas dan respon pasien
b. Kompres Dingin
Menurut musrifatul (2011), kompres dingin merupakan tindakan dengan cara memberikan
kompres dingin basah dalam memenuhi kebutuhan rasa nyaman (hipotermia) yaitu
memberikan rasa dingin dengan menggunakan lap atau kain yang dicelupkan ke
dalam air dingin. Kompres ini dapat dilakukan pada dahi, ketiak atau lipatan
paha.
Tujuan: Menurunkan
suhu tubuh pada hipertermia
Alat dan Bahan
1. Baskom berisi air dingin
2. Pengalas
3. Kain/waslap
Prosedur Kerja
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2. Cuci tangan
3. Pasang pengalas dibawah tempat yang akan di kompres
4. Basahi kain dengan air dingin
5. Letakan dan usapkan kain yang telah dibasahi air
dingin pada daerah luka dan daerah aksila, dahi, atau lipatan paha
6. Cuci tangan setelah prosedur dikakukan.
7. Catat perubahan atau respon pasien
Disusun Oleh Lilis Suryani
Terimakasih Kepada Dosen Pengampu Zaidir, ST., MCs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar